Senin, 16 Januari 2012

Critical Review: Konsep Perencanaan Kawasan Pesisir “Waterfront City” di Kota-Kota Indonesia

Oleh: 
Deny Ferdyansyah – 3608100008
Perencanaan Wilayah dan Kota - ITS

       Kawasan pesisir merupakan kawasan yang strategis bagi pengembangan wilayah karena memiliki karakterisitik dan keunggulan yang komparatif dan kompetitif, terutama pada kawasan vital kota pesisir . Kota pesisir memiliki karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai prime movers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010). Sebaliknya, kota pesisir memiliki sensifitas tinggi terhadap degradasi lingkungan apabila eksploitasi dan pembangunan dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaaan kawasan kota pesisir diperlukan sebagai upaya pengembangan kawasan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan.
Mayoritas kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota pesisir karena lokasinya yang berada di wilayah pesisir, terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makasar. Kota-kota tersebut memiliki kawasan pesisir yang strategis yang dikembangkan sebagai kota pesisir atau yang lebih dikenal dengan sebutan waterfront city. Misalnya, perencanaan kawasan eco-waterfront city di Teluk Lamong Kota Surabaya dikembangkan sebagai pendukung kegiatan Pelabuhan Tanjung Perak yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sehingga tidak heran jika konsep perencanaan waterfront city terus dikembangkan sesuai dengan karakteristik kawasan pesisir masing-masing wilayah.
Namun, proses dan teknik implementasi perencaaan waterfront city masih mengalami kendala. Salah satunya adalah penyediaan lahan bagi pengembangan waterfront city. Upaya yang sering dilakukan adalah mereklamasi kawasan pesisir tersebut. Sedangkan beberapa pihak menilai bahwa reklamasi dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem kawasan pesisir. Seperti kasus pengembangan waterfront city, Teluk Lamong Kota Surabaya melalui reklamasi pantai, menurut organisasi lingkungan akan merusak ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau yang telah menjadi penyeimbang dan penyangga ekosistem pesisir dan laut yang dapat mengancam sumber kehidupan ribuan nelayan dan petani tambak di Surabaya dan Gresik (Bappeprov Jatim, 2010).
Dengan demikian, diperlukan kajian lebih lanjut tentang aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam perencanaan waterfront city. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, dapat juga belajar  dari pengalaman kota-kota di negara maju yang sukses mengembangkan dan mengimplementasikan konsep waterfront city, seperti San Antonio (Amerika Serikat), Venesia (Italia), Darling Harbor (Sydney), Inner Harbor (Baltimore), Clark & Boat Quay (Singapura), serta Kop van Zuid (Rotterdam). Pada akhirnya, konsep perencanaan waterfront city dapat mewujudkan pembangunan kawasan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan di Indonesia.

Konsep Perencanaan Waterfront City
       Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi  ke arah perairan. Sebagai bagian dari kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010).
       Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai, danau) yang potensial, antara lain:  terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan untuk minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis yang terlindung dari hantaman gelombang danserangan musuh. Perkembangan selanjutnya mengarah ke wilayah daratan yang kemudian berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan waterfront.
Kondisi fisik lingkungan waterfront city secara topografi merupakan pertemuan antara darat dan air, daratan yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi,terdapat tekanan air sungai terhadap air tanah, serta merupakan daerahrawa sehingga run off air rendah. Secara geologi kawasan tersebut sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas,tanah lembek, dan rawan terhadap gelombang air. Secara tata guna lahan kawasan tersebut mempunyai hubungan yang intensif antaraair dan elemen perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin dansuhu serta mempunyai kelembaban tinggi. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya waterfront city memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang berorientasi ke air dan darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di atas air. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagaitransportasi utama, merupakan kawasan terbuka (akses langsung) sehingga rawan terhadap keamanan,penyelundupan, peyusupan (masalah pertahanan keamanan) dan sebagainya.
Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen penataan untuk mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik. Kawasan tepi air merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami. Berikut alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air (waterfront city).



 
   Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air
Sumber: Sastrawati, 2003

Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam penataan kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam prinsip perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan.Variabel penataan adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap komponen dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif) kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam maupun luar negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati, 2003).
Penerapan waterfront city di kota-kota negara maju dapat juga dijadikan referensi dalam perencanaan waterfront city bagi kota-kota di Indonesia. Di negara maju perencanaan dan pengembangan waterfront city didasarkan pada berbagai konsep sesuai dengan kondisi sosio-kultur, kemampuan teknologi dan ekonomi serta kebutuhan kotanya masing-masing. Kota San Antonio di Texas berhasil mengembangkan waterfront city modern yang dapat mempertahankan bangunan bersejarah dan dapat menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Kawasan Waterfront city di pusat kota ini yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian di Texas.
Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic waterfront yang mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang seimbang fungsi dan skalanya. Venesia mengembangkan perairan tidak hanya sebagai edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota,Vaporeti (bus air)sampai angkutan pencampur  beton, seluruhnya menggunakan jalur air. Tepian Sungai Seina di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial, industri, residensial dan rekreasi.

Waterfront City di Indonesia
Pada dasarnya, mayoritas perencanaan dan pengembangan waterfront city di kota-kota Indonesia memiliki karakteristik yang beorientasi ekonomi dan ekologis sehingga mampu menjadi prime movers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional. Seperti perencanaan dan pengembangan waterfront city di Jakarta yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan masyarakat, dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan (Rahmat,2010).
Di Kota Surabaya, perencanaan waterfront city dikembangkan di Teluk Lamong dengan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan modern Jepang. Selain itu, akan dikembangkan juga sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata. Berdasarkan hasil Kajian Lingkup Hidup Startegis (KLHS) Teluk Lamong (2011) konsep yang ditawarkan adalah eco-waterfront city sebagai upaya untuk menjaga kondisi lingkungan dari kerusakan dan berkelanjutan.
Sedangkan waterfront city di Ternate telah menjadi kota mandiri (self contained city) yang dapat melayani kebutuhan penduduk di sekitarnya. Dalam konteks ekologi waterfront city di Ternate adalah bagaimana menjaga terjadinya penurunan kualitas lingkungan pada kawasan baik wilayah daratan, laut maupun perairan yang termasuk maupun tidak termasuk kawasan sensitif (Nurdin, 2009).
Waterfront city di Makasar berciri kota maritime yang kuat merupakan hasil pengujian dilapangan berdasarkan keinginan masyarakat. Masyarkat tetap menginginkan positioning Makassar yang diterapkan dalam lima visi kota sebagai kota maritime, jasa, niaga, pendidikan serta budaya (http://www.makassarterkini.com)
Berdasarkan konsep waterfront city yang ditawarkan oleh masing-masing kota – kota di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan perencanaan kawasan waterfront city yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.  Aspek sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, patembayan dan seluruh masyarakat diwilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan kondisi-kondisi ekonomi yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik. Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Aktivitas sekecil apapun dari manusia yang mengambil atau memanfaatkan potensi alam sedikit banyak akan mempengaruhi kesetimbangannya. Apabila hal ini tidak diwaspadai akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia, khususnya akibat dampak yang dapat dapat bersifat tak berubah lagi (irreversible changes). Ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian yang sama sesuai dengan peran dan pengaruh masing-masing pada pengembangan kawasan waterfront city (Mulyanto, 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep waterfront city merupakan salah satu konsep pembangunan yang berkelanjutan karena mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya pelestarian sumber daya, pemerataan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan lingkungan. Selain itu, jika menggunakan pendekan pengelolaan kawasan peisir yang terpadu (Integrated Coastal Zone Management) maka konsep waterfront city menggunakan prinsip ICZM yakni proses untuk pengelolaan pantai menggunakan pendekatan terpadu, mengenai semua aspek dari zona pantai, termasuk batas geografis dan politik, dalam usaha untuk mencapai pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan (Dahuri, 1996).

DAFTAR PUSTAKA
* Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.2006.Pedoman Kota Pesisir.Departemen Perikanan dan Kelautan
*  Dahuri, Rokhmin.1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
*   Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-prinsip Pengembangan Wilayah.
*  Sastrawati, Isfa. 2003. Prinsip Pereancangan Kawasan Tepi air. Jurnal PWK Vol.14
*   Rahmat, Adipati.2010.Jakarta Waterfront City
   http://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/ [13 Sepetember 2010]
*   Bapeprov Jatim.2010.Menyoal Pelabuhan Teluk Lamong.   
     http://bappeda.jatimprov.go.id/web/artikel8.php [ 8 November 2010]
* Nurdin, Nasrun Andika.2009. Corak Waterfront City Ternate. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Corak+Waterfront+City+Ternate&dn=20090505231213 [ 9 Maret 2011]
*   ________.2010.Tujuan dan Kebijkan Penataan Ruang Kota Makasar.
* Pemerintah Propinsi Jawa Timur.2011.Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pengembangan Kawasan Teluk Lamong.

1 komentar: