Kamis, 13 Januari 2011

KAJIAN KRITIS APBN INDONESIA

Alternatif Sumber Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur melalui Sumber Daya Alam Sebagai Sumber Pendapatan Utama Negara

Oleh :
DENY FERDYANSYAH
Mahasiswa S1 Perencanaan Wilayah dan Kota - ITS

Sudah menjadi hal yang mutlak bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pembangunan yang dilakukan di berbagai sektor, khususnya pembiayaan infrastruktur yang menyangkut kepentingan umum, membutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu sumber utama dalam pembiayaan infrastruktur adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan pedoman keuangan negara bagi pemerintah dalam melakukan pembiayaan dan penyelenggaraan pembangunan selama satu tahun. Namun, karena ketidakmampuan APBN dalam membiayai keseluruhan pembangunan di berbagai sektor, pada akhirnya sering kali dalam menutupi kekurangan dana pembangunan, pemerintah melakukan pinjaman/utang atau kerjasama dengan pihak swasta baik dalam/luar negeri. Akibatnya, anggaran pembangunan dalam APBN yang dilakukan kurang terfokus lagi pada tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melainkan bagaimana untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Terbukti, dalam rencana APBN 2011 misalnya, 25 % anggaran pengeluaran digunakan untuk membayar cicilan utang dan 50 % lainnya digunakan untuk belanja pegawai dan para pejabat, sedangkan pembangunan untuk kepentingan rakyat, misalnya melalui subsidi turun 8,2 % dari 201,3 Triliun pada tahun 2010 menjadi 184,8 Triliun pada tahun 2011. Oleh karena itu, tulisan ini, secara umum akan berupaya mengkaji lebih lanjut kapasitas APBN Indonesia dalam melakukan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Adanya alternatif sumber utama pendapatan negara yang berasal dari hasil pengelolaaan sumber daya alam Indonesia yang berpotensi menjasi sumber pembiayaan pembangunan perlu dipertimbangkan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.


APBN Indonesia
Struktur APBN Indonesia sendiri terdiri diri dari pendapatan dan pengeluaran. Sumber pendapatan negara selama ini berasal dari penerimaaan perpajakan baik dalam negeri maupun hasil penerimaan perpajakan perdagangan internasional. Selain itu, terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari penerimaan sumber daya alam, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan PNBP lainnya. Sumber pendapatan lainnya adalah hibah, bisa disebut juga ‘bantuan luar negeri’ (baca: utang). Sedangkan segi pengeluaran atau pembelanjaan, terdiri dari (1) Belanja non/kegiatan Pemerintahan Pusat (2) Transfer ke Daerah melaui dana perimbangan; dana otonomi khusus dan penyesuaian.
Selama ini, sumber utama pendapatan APBN berasal dari sektor pajak. Bahkan pada tahun 2010 sektor pajak memberikan kontribusinya sebesar 77% dari total pendapatan negara1. Sisa pendapatan lainnya didapat dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam dan laba BUMN yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah penerimaan dari sektor pajak. Keseluruhan pendapatan tersebut akan digunakan untuk membiayai anggaran pembelanjaan yang telah direncanakan sebelumnya, termasuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.


Pembiayaan Infrastruktur “MAHAL”
Seperti yang diketahui, infrastruktur merupakan fasilitas fisik beserta layanannya yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial-ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan masalah. Infrastruktur yang memadai dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, sumber pendanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia masih mengalami permasalahan klasik, dimana keterbatasan kemampuan pemerintah dalam membiayai keseluruhan pembangunan. Sehingga pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya sepanjang tahun 2010-2014 pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 1.400 Triliun untuk pembangunan infrastruktur (Jawapos, 2010). Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti proyek pembangkit listrik di Jawa Tengah, jalur kereta api Bandara Soekarno-Hatta ke Manggarai, dan proyek air bersih di Surabaya serta proyek lainnya yang masih dalam pembahasan di Bappenas dan BPKM. Namun, dari total kebutuhan dana pembiayaan tersebut, pemerintah hanya mampu memenuhi 30 % yang diambil dari dana APBN. Sehingga pemerintah masih membutuhkan dana kurang lebih Rp. 980 Triliun lagi untuk menutupi kekurangan tersebut. Dana tersebut diharapkan berasal dari pinjaman dari lembaga keuangan dan investasi dari sektor swasta.
Keterlibatan sektor swasta asing maupun dalam negeri dalam pembiayaan infrastuktur Indonesia memiliki sisi positif dan negative. Adanya bantuan investasi dari pihak swasta secara tidak langsung dapat membantu dan mempercepat pemerintah dalam melakukan pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain, investasi asing akan membebani keuangan negara dan masyarakat. Terkadang dalam mekanisme pembiayaan pembangunan infrastruktur seringkali pihak swasta diuntungkan, misalkan pada status kepemilikan dan pengelolaan operasional. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, terkadang pihak swasta menarik biaya operasional yang tinggi, sehingga keuntungan bisa didapat secara maksimal dan dalam waktu yang singkat. Tentunya, masyarakat yang sebagai pengguna jasa infrastruktur mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan. Tidak heran jika pelayanan infrastuktur menjadi barang yang “mahal”.
Sebagai alat pembangunan yang vital, infrastruktur seharusnya menjadi komponen utama dalam pembelanjaan APBN karena menyangkut kepentingan umat. Kondisi masyarakat Indonesia yang masih heterogen perekonomian, menyebabkan pemerintah harus mengakomodasi segala kebutuhan dasar, termasuk pelayanan infrastruktur. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Peningkatan kemampuan sumber pendapatan APBN, terutama dalam sumber pendapatan dari pengelolaan SDA seharusnya dapat dioptimalkan. Potensi kekayaan alam Indonesia, terutama kekayaan tambang sebenarnya berpotensi menjadi sumber utama pendapatan APBN yang pada nantinya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.


Potensi Kekayaan Alam Sebagai Sumber Utama Pendapatan APBN Untuk Pembiayaan Infrastruktur Indonesia
Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang luar biasa. Jika dihitung secara kasar sebenarnya, hasil pengelolaan kekayaan minyak dan gas bumi, batubara, barang tambang (emas, nikel), hutan, laut sudah cukup dapat menjadi sumber utama pendapatan negara. Produksi minyak Indonesia sendiri adalah sekitar 950.000 barel/hari. Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barel dan nilai tukar rupiah Rp. 9.000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profittnya masih di atas Rp. 182 Triliun. Namun, keuntungan ini dapat tercapai jika seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasaran tanpa ada subsidi, yakni US$ 72 barel/hari. Sedangkan produksi gas (LNG) adalah sekitar 5,6 juta barel minyak/hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% dari harga minyak bumi, jadi jika di total perhitungannya akan menghasilkan sekitar Rp. 297 Triliun. Nett profit yang bisa didapat sekitar Rp. 268 Triliun. Selain itu, produksi batu bara adalah sekitar 2 juta barel minyak per hari, dengan harga pasaran di dunia sekitar 50% harga minyak. Jadi nilainya bisa sekitar Rp. 212 Triliun, atau net profitnya sekitar Rp. 191 Triliun. Produksi emas yang saat ini dikelola PT. Free Port dapat menjadi sumber masukan yang terbesar karena tambang emas Indonesia tersebut merupakan yang terbesar di dunia, produksinya bisa mencapai 200 kg emas murni per hari. Namun, karena dikelola pihak asing, maka pemerintah Indonesia hanya memperoleh pajak yang sebesar Rp. 6 Triliun/tahun. Pajak tersebut hanya 20 % dari nett profit yang didapatkan oleh PT. Free Port. Sehingga jika ditotal nilai nett profit dari tambang emas ini adalah 30 Triliun per tahun. Sektor tambang mineral logam lainnya seperti timah, bauksit, pasir, dll yang jika ditotal nilai nett profitnya mencapai minimal Rp. 50 Triliun. Dengan demikian, jumlah pendapatan dari hasil pengelolaan barang tambang adalah mencapai Rp. 691 Triliun.
Untuk produksi laut yang begitu besar bagi Indonesia, nilai potensi lestari laut baik hayati maupun non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Miliar atau Rp. 738 Triliun (Rokhmin Dahuri, 2006). Sedangkan produksi hutan lebih funtastik lagi. Luas hutan Indonesia diperkirakan sekitar 100 juta Ha dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 % yang hanya diambail. Bila dalam 1 Ha terdapat populasi pohon minimalis sebesar 400 pohon, hal itu berarti hanya ada 20 pohon/ha yang boleh diambil manfaatnya. Mnurut harga pasaran, kayu yang berusia 20 tahun harganya mencapai Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta. Maka nilai ekonomis yang didapat adalah 20 pohon/ha x 100 ha x Rp. 2 juta = Rp. 2000 Triliun. Namun, kondisi hutan kita hampir separuh telah rusak akibat illegal logging. Sekira Rp. 1.000 Triliun yang mungkin dapat kita peroleh dari hasil hutan dengan kondisi sekrang. Serta masih banyak lagi hasil kekayaan alam Indonesia yang belum dieksplorasi lebih lanjut yang bernilai ekonomi tinggi.
Hasil perhitungan kasar yang dilakukan, menunjukkan bahwa hasil pengelolaan kekayaan alam yang telah disebutkan dapat berpotensi maenjadi sumber penerimaan pendapatan utama APBN karena jika ditotal secara keseluruhan penerimaan yang diterima dari pos sumber daya alam ini adalah Rp. 2.435 Triliun (liat tabel perkiraan hasil pengelolaan SDA Indonesia). Luar biasa!!! angka tersebut hampir 200 % dari RAPBN Tahun 2011 yang hanya mencapai Rp. 1.202 Triliun.

Tabel Perkiraan Akumulasi Penerimaan
Hasil Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
No.
Sektor
Nett Profit
(Triliun)
1.
Minyak Bumi
Rp. 182
2.
Gas Bumi
Rp. 268
3.
Batu Bara
Rp. 191
4.
Emas
Rp. 6
5.
Logam Mineral
Rp. 50
6.
Hasil Laut
Rp. 738
7.
Produksi Hutan
Rp. 1.000
Jumlah Penerimaaan
Rp. 2.435
Sumber: Al-Wa’ie, 2010

Total penerimaan APBN tersebut belum termasuk penerimaan dari sektor pajak. Jika hal tersebut dapat direalisasikan maka Indonesia, mampu secara keseluruhan untuk membiayai pembangunan di negaranya, termasuk membiayai pembangunan infrastruktur. Pasalnya jika pembiayaan infrastruktur Indonesia selama tahun 2010-2014 pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 1.400 Triliun, dengan mengoptimalkan sumber penerimaan APBN dari penerimaan sumber daya alam maka 50 % dari penerimaan hasil pengelolaan SDA dapat digunakan. Sedangkan sisanya bisa penerimaan bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan lainnya. Dengan demikian permasalahan pembiayaaan dapat teratasi dan masyarakat dapat segera mencapai kesejahteraan bersama dalam bentuk pelayanan public yang berkualitas, bahkan gratis.
Namun, Pemerintah Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk mencapai itu semua karena sebagian besar pengelolaan sumber daya alam negara ita dikelola oleh pihak asing, khusus untuk hutan telah mengalami degradasi daik dari fungsi ekonomis maupun fungsi lingkungan yang dimiliki. Hal itu merupakan tanggung jawab kita bersama…
------------------------------------------------
Referensi:
- Slide Mata Kuliah Pembiayaan Pembangunan: Teori Anggaran. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
- Jawapos. 2010. Infrastrktur Inodonesia Butuh Dana 1.400 Triliun. Jawapos, 10 Agustus 2010 Hal 5.
- Al-Wa’ie.2010.APBN Anti Rakyat.Jakarta (Edisi Oktober 2010). Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia

Selasa, 11 Januari 2011

INTEGRATED WATER RESOURCE MANAGEMENT UNTUK MENCEGAH BANJIR DI KOTA SURABAYA

Oleh:
DENY FERDYANSYAH

Mahasiswa S1 Perencanaan Wilayah dan Kota – ITS Surabaya

Salah satu penyebab terjadinya banjir di Kota Surabaya akibat adanya proses pembangunan kota yang mengabaikan kondisi lingkungan. Semakin memburuknya kondisi banjir secara umum dapat mengancam keberlanjutan Kota Surabaya. Laporan Stasiun Meteorologi Kelas I Bandara Juanda Sidoarjo menyatakan bahwa pada Januari-Februari 2009, terjadi hujan secara terus menerus bervariasi antara 20-100 mm curah hujan per hari. Kecepatan angin antara 5-35 km per jam, suhu udara 23-22 derajat Celcius dan kelembapan relative antar 68-98 persen. Hal ini cukup membuktikan betapa ekstrim cuaca Surabaya yang dapat mengakibatkan terjadinya cukup parah.
Permasalahan banjir Surabaya dapat terjadi karena dua faktor, yaitu faktor statis dan dinamis. Faktor statis yang dimaksud ialah kondisi alam, kontur, sifat tanah, yang mudah menyebabkan genangan. Sedangkan faktor dinamis ialah tingginya curah hujan, meningkatnya air laut pasang dan aktivitas manusia. Sehingga dapat diidentifikasi permasalahan banjir Surabaya dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
  • Surabaya terdiri dari tiga wilayah dengan kondisi geologis sangat berlainan, yaitu wilayah pantai yang tersusun atas endapan pasir, batu lempung dan wilayah pendataran bergelombang yang tersusun oleh batu pasir, batu lempung dan napal. Kondisi pantai dan rawa terhadap banjir.
  • Topografi Surabaya yang merupakan kota pesisir, dengan mayoritas datarannya berada pada 1-3 meter dibawah permukaan laut yang sangat datar dan cekung menyebabkan air menggenang di sejumlah lokasi. Bahkan menurut Saluran Drainase Master Plan (SDMP) Surabaya 2018, menyatakan bahwa sebagian daerah pantai ternya lebih rendah dari muka air laut. Sehingga kawasan tersebut rentan terhadap genangan bajir pada saat terjadinya pasang air laut.
  • Jenis tanah yang terdapat di Kota Surabaya terdiri atas Alluvial Hidromorf, Alluvial Kelabu Tua, dan Alluvial kelabu dan Grumosol menyebabkan terjadinya penurunan tanah terutama di sisi Utara dan Timur serta menambah beban sedimen pada drainase.
  • Alih fungsi kawasan rawa dan pesisir menjadi kawasan industri dan perumahan yang mengurangi fungsi retensi. Gambaran tersebut dapat terlihat dari pola penggunaan lahan kota Surabaya yang mengalami perubahan yang signifikan dalam kurun waktu yang singkat.
  • Kurang terkoordinasinya pengoperasian pompa dan boezem yang menyebabkan genangan tidak dapat teratasi. Menurut data SDMP 2018 Surabaya, sistem pompa dan boezem penampungan air yang diterapkan belum dapat berjalan secara maksimal untuk mengatasi banjir Surabaya karena baru ada 33 pompa dari 66 pompa yang direncanakan.
  • Terjadi sedimentasi yang parah dan berkurangnya kapasitas berbagai saluran primer menyebabkan genann banjir makin parah.
Berkaitan dengan masalah banjir di atas, maka diperlukan solusi integrasi penataan ruang dengan penataan air. Perkembangan Surabaya saat ini terjadi juga karena permalahan tata ruang. Selayaknya kota sebesar Surabaya menerapkan Perencanaan Tata Ruang berbasis Ekologis. Maksudnya proses perencanaan tata ruang yang dilakukan harus dikaji secara komprehensif dengan mempertimbangkan keanekaragaman hayati (konsis ekologi), kapasitas atau daya dukung lingkungan (kondisi fisik lainnya), serta kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi kawasan. Selanjutnya, proses perencanaan infrastruktur lainnya seperti tata air, transportasi masal, pengelolaan limbah dan sampah, konservasi energy, dan lain-lain harus diintegrasikan. Selain itu, perlu juga melibatkan peran dari pemegang kepentingan (stakeholder) proses penentuan tata ruang, dsb.
Integrated Water Resource Management (IWRM) sendiri dapat didefinisikan sebagai metodologi dalam manajemen sumber daya air secara holistik melalui perencanaan strategis yang terpadu untuk pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) yang berkelanjutan. Negara yang diakui berhasil dalam pengelolaan SDA adalah Singapura karena telah dianggap mampu mengintegrasikan penataan ruang dengan perencanaan infrastruktur drainase melalui manejemen kebutuhan air seperti pengadaan air bersih, sistem drainase, pengelolaan limbah terpadu, dan infrastruktur pendukungnya. Dalam konteks Surabaya, IWRM ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan Surabaya Drainase Master Plan (SDMP 2018) ke dalam Rencana Tata Ruang Surabaya pada masa mendatang. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan pengendalian pembangunan dan mengurangi beban infrastruktur drainase yang ada. Upaya yang bisa dilakukan dapat berupa konservasi pada kawasan hutan lindung, pantai dan rawa yang memiliki fungsi untuk mengurangi dampak banjir, pembangunan perumahan baru harus mempertimbangkan perubahan limpasan permukaan seminim mungkin dan memiliki infrastuktur drainase yang memadai, serta mempertahankan eksistensi dan peran Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Biru (Badan Air) sebagai retensi air.
Skema Integrated Water Resource Management di Singapura
Sebagai implementasi dari IWRM, Pemerintah Kota Surabaya dapat menerapkan 3 strategi, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Mengkoordinasikan institusi pengelola SDA dan tata ruang dalam pembangunan yang dilakukan seperti koordinasi antara Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya dengan Dinas Pematusan, Badan Lingkungan Hidup, dsb. Institusi yang terlibat nantinya bekerjasam dalam penyusunan Master Plan Surabaya yang terintegrasi serta implementasinya. Untuk optimalisasi kinerja institusi, maka membutuhkan kapasitas SDM yang tinggi dan sistem koordinasi yang luar biasa. Hal yang dapat ditempuh dengan melakukan capacity building secara regular.
  2. Manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS). Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan pengendalian pembangunan DAS yang dilindungi dan tidak dilindungi. Pembangunan di sekitar Hutan Kota di kawasan Surabaya Barat harus dikendalikan untuk menjamin supplai air bersih d konservasi lingkungan hidup. Sedangkan kawasan DAS yang tidak dilindungi dapat dibangun perumahan dan industri (non polutif) dengan syarat dilengkapi dengan infrastruktur drainase dan pengolahan air limbah. Untuk DAS di pusat kota dapat juga dimanfaatkan untuk supplai air bersih namun harus dilengkapi dengan instalasi pengolahan limbah air yang modern. Optimalisasi startegi ini dapat dilakukan dengan melarang pembangunan industri polutif di sekitar kawasan DAS yang berpotensi untuk penampungan air minum namun tetap harus didukung dengan sistem koleksi limbah yang modern untuk mencegah polusi indurti yang parah.
  3. Melakukan perencanaan dan manajemen drainase yang berkelanjutan. SDMP 2018 harus selalu mengikuti perkembangan Rencana Tata Ruang Surabaya. Kebutuhan infrastruktur drainase harus diperhitungkan dan diimplementasikan. Jika tidak, maka pembangunan yang dilakukan tidak diijinkan. Selain itu, perlu dukungan program perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur draina secara regular dan terpadu serta program penegakan hukum perijinan polusi dan ambang batas polutan untuk menjamin kualitas air.
Keberhasilan strategi tersebut, haruslah didukung dengan upaya pengelolaan SDA secara arif melalui penghematan SDA demi konservasi air yang berkelanjutan. Melalui perencanaan tata ruang yang terintegrasidengan perencanaan drainase diharapkan dapat mengurangi potensi banjir yang ada di Kota Surabaya. Hal ini dapat dilakukan melalui partisipasi seluruh komponen yang berkepentingan yaitu, pemerintah, swasta dan masyarakat. Integrasi sistem tata ruang-tata air-tata lingkungan dari level makro sampai mikro adalah mutlak untuk mewujudkan Kota Surabaya yang Berkelanjutan.(*)
-----------------------------------------------------------
Referensi:
  • Badan Pusat Statistika (2010). Data Profil Kota Surabaya
  • Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya .Rencana Tata Ruang Wilayah Surabaya 2015.
  • Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya (2008). Laporan Akhir Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Surabaya Drainase Master Plan (SDMP) 2018 Kota Surabaya
  • Tanuwidjaya dkk (2009). Seminar Nasional Arsitektur : Integrasi Tata Ruang dan Tata Air Unutk Mengurangi Banjir di Surabaya. Surabaya : Universitas Kristen Petra

Senin, 10 Januari 2011

Isu Pengembangan Kawasan Waterfront City (Studi Kasus: Reklamasi Pantai Lamong Bay di Pesisir Surabaya)

Pendahuluan

Kawasan pesisir merupakan daerah pertemuan antara wilayah daratan dan wilayah lautan yang membawa dampak signifikan terhadap ekosistem pesisir sekitarnya namun sangat rentan dengan perubahan. Sebagai kawasan pesisir, kota pesisir merupakan kawasan yang strategis dalam konteks pengembangan willayah karena karakteristik dan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Kota pesisir memiliki karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010). Namun eksploitasi dan pembangunan wilayah pesisir yang berlebihan dapat mengakibatkan degradasi lingkungan pesisir, sehingga akan mempengaruhi kehidupan ekosistem sekitarnya.
Mayoritas kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota pesisir karena lokasinya yang berada di wilayah pesisir, seperti Kota Surabaya yang sebagian wilayahnya berada di wilayah pesisir. Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Kota Surabaya memiliki kawasan pesisir yang strategis yang dapat dikembangkan sebagai kota pesisir (waterfront city). Sebagai catatan sejarah, Surabaya pada jaman Belanda dikenal sebagai waterfront city karena hampir seluruh bangunan di Surabaya menghadap di sepanjang sungai Kalimas sampai ke Ujung di Tanjung Perak. Isu pembangunan Teluk Lamong (Lamong Bay) sebagai pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak, telah memunculkan kembali potensi Surabaya sebagai waterfront city, khususnya di kawasan pesisir.
Pembangunan Lamong Bay merupakan salah satu proyek besar Pemerintah Jawa Timur dan merupakan proyek lanjutan dari pembangunan Jembatan Suramadu. Lamong Bay berkonsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan-pelabuhan modern Jepang. Selain sebagai pelabuhan, Lamong Bay akan dikembangkan sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata. Pembangunan Lamong Bay tersebut direncanakan akan mereklamasi pantai di sisi kiri Terminal Peti Kemas Surabaya seluas 400 ha (Bapeprov Jatim, 2010).
Pembangunan Lamong Bay secara tidak langsung telah mendukung upaya pengembalian jati diri Kota Surabaya sebagai waterfront city. Namun, upaya pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi pantai tersebut memunculkan permasalahan baru. Pada umumnya, reklamasi dianggap akan menimbulkan degradasi lingkungan di kawasan pesisir. Reklamasi pantai merupakan kegiatan di tepi pantai yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Mengacu pada kasus reklamasi Pantai Kapuk, Jakarta, telah menyebabkan kawasan pesisir Jakarta mengalami kerusakan ekosistem (hutan mangrove) dan menimbulkan banjir. Menurut sejumlah organisasi lingkungan, pembangunan Lamong Bay melalui reklamasi pantai akan merusak ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau yang telah menjadi penyeimbang dan penyangga ekosistem pesisir dan laut yang dapat mengancam sumber kehidupan ribuan nelayan dan petani tambak di Surabaya dan Gresik (Bappeprov Jatim, 2010). Bahkan, kawasan sekitar pembangunan Lamong Bay, yaitu Surabaya dan Gresik telah mengalami banjir yang menyebabkan kerugian yang besar bagi masyarakat setempat.
Oleh karena itu, pembangunan Lamong Bay di Surabaya perlu dikaji lebih lanjut terkait dengan isu dan permasalahan yang ditimbulkan. Isu reklamasi pantai dan permasalahan yang ditimbulkan dalam pembangunan Lamong Bay akan dikaitkan dengan konsep pengelolaan kawasan pesisir terpadu (Intergrated Coastal Zone management) yang berkelanjutan. Diharapkan kajian ini dapat memberikan rekomendasi bagi pembangunan Lamong Bay dalam upaya pengembangan kawasan Surabaya Waterfront City yang berkelanjutan.
Pengertian Reklamasi Pantai
Reklamasi merupakan atu pekerjaan atau usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai atau di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kota-kota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. Tujuan utama reklamasi pantai adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata.
Cara reklamasi dapat memberikan keuntungan dan kerugian pada suatu wilayah. Keuntungan yang didapat adalah dalam penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, dll. Namun, reklamasi dapat juga membawa kerugian, diantaranya terhadap keseimbangan lingkungan alamiah. Padahal keseimbangan lingkungan harus selalu dalam keadaan seimbang dan dinamis. Adanya intervensi manusia menyebabkan perubahan lingkungan di kawasan sekitarnya. Perubahan tersebut akan melahirkan perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pantai, berpotensi meningkatkan bahaya banjir, dan berpotensi gangguan lingkungan di daerah lain (seperti pengeprasan bukit atau pengeprasan pulau untuk material timbunan). Untuk lebih jelasnya, ilustrasi reklamasi pantai dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Tata Letak Reklamasi dan Teknik Reklamasi Pantai
(Sumber: http://eprints.undip.ac.id/16383/1/ALI_MASKUR.pdf)

Waterfront City Sebagai Pengembangan Kawasan Pesisir
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang strategis dalam konteks pengembangan wilayah karena karakteristik dan keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memacu perekembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan menjaga kelestarian lingkugan hidup pada suatu wilayah (Fulyaningtyas, 2009). Salah satu pengembangan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan menerapkan konsep waterfront city. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi ke arah perairan. Sebagai bagian dari kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010).
Konsep waterfront city banyak diterapkan di kota-kota dunia, bahkan telah berhasil dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Waterfront city di kota-kota dunia merupakan sebuah konsep penataan kota yang modern dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti aspek fisik, sosial, ekonomi, ekologi, budaya, hukum, dsb. Di Kota San Antonio di Texas dikembangkan sebagai waterfront city modern yang dapat mempertahankan bangunan sejarah dan menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Selain itu, waterfront city yang berada di pusat kota tersebut dapat meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat di Texas. Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic waterfront yang mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang seimbang fungsi dan skalanya. Venesia mengembangkan perairan tidak hanya sebagai edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota, Vaporeti (bus air) sampai angkutan pencampur beton, seluruhnya menggunakan jalur air. Tepian Sungai Seina di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial, industri, residensial dan rekreasi.
Salah satu tantangan dalam mengembangkan kawasan pesisir, khususnya dalam menerapkan waterfront city adalah tuntuan penggunaan lahan yang terbatas namun sekaligus melindungi sumber daya alam yang kritis dari pengaruh rusaknya lingkungan. Oleh karena itu, waterfront city harus berprinsip pada konsep pembangunan berkelanjutan dimana terjadinya keseimbangan antara lingkungan, sosial dan ekonomi.

Critical Review: Studi Kasus Reklamasi Pantai dalam Pembangunan Lamong Bay di Surabaya
Menurut Rencana Panjang Jangka Menengah (RPJM) 2011-2015 mengenai program pengelolaan dan pembangunan jalan dan jembatan di Surabaya, ujung utara akan diubah menjadi Waterfront City (suarasurabaya.net). Implementasi dari rencana tersebut adalah rencana pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak ke sebelah kiri Terminal Petikemas Surabaya atau ke arah Teluk Lamong (lihat gambar 2). Rencana pengembangan pelabuhan tersebut juga untuk mengantisipasi terjadinya overload di Pelabuhan Tanjung Perak. Lamong Bay Port akan dibangun dengan menggunakan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan-pelabuhan modern Jepang. Selain sebagai pelabuhan, Lamong Bay akan dikembangkan sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata (lihat gambar 3). Pembangunan Lamomg Bay sebagai upaya mengembalikan jati diri Surabaya Waterfront City sebagai kota maritim dan mampu bersaing dengan pelabuhan Singapore Port Authority atau Tanjung Lepas di Malaysia.
Gambar 2. Lokasi Perencanaan Teluk Lamong (Lamong Bay) dalam Peta Surabaya
(Sumber: www.google.map.com)
Gambar 3. Perencanaan Teluk Lamong (Lamong Bay Port)
(Sumber: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?p=18274465)
Rencana pembangunan Lamong Bay akan mereklamasi pantai di Teluk Lamong seluas 400 ha (Bapeprov Jatim, 2010). Sedangkan banyak yang berpendapat bahwa upaya reklamasi pantai akan menimbulkan degradasi lingkungan di kawasan pesisir sekitarnya. Hal itu juga dikhwatirkan oleh organisasi lingkungan yang menganggap bahwa upaya pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi akan menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau (Bapeprov Jatim, 2010). Kerusakaan hutan bakau sebagai penyeimbang dan penyangga ekosistem pesisir dan laut dikhawatirkan akan mengancam sumber kehidupan ribuan nelayan dan petani tambak di Gresik dan Surabaya. Fakta menunjukkan daerah Gresik dan Surabaya yang terletak di sekitar Teluk Lamong, selama musim hujan selalu mengalami kebanjiran akibat meluapnya Kali Lamong. Pada tahun 2009, luapan Kali Lamong membanjiri empat kecamatan di Gresik, yaitu Kecamatan Benjeng, Cerme, Menganti dan Kedamean yang baerada di sepanjang Kali Lamong. Sementara di Surabaya Barat, air merambah ratusan hektar tambak di Tambakdono Pakal, Kecamatan Benowo. Tercatat sedikitnya 700 rumah dan 1.225 hektar tambak siap panen rusak serta 500 keluarga mengungsi. Kerugian petani tambak diperkirakan Rp 12 miliar (Bapeprov Jatim, 2010).
Reklamasi artinya membuat daratan baru, baik berupa perpanjangan daratan yang telah ada, ataupun berupa pulau-pulau baru di tengah laut. Pembangunan Lamong Bay melalui reklamasi pantai untuk membuat pulau buatan sebagai kawasan pelabuhan, industri, komersil dan pariwisata. Pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi secara tidak langsung akan berdampak positf dan negative. Dampak positif dari pembangunan tersebut adalah pertumbuhan ekonomi wilayah di sekitarnya dan secara tidak langsung mendukung upaya pembangunan Surabaya Waterfront City. Namun, keuntungan tersebut tidaklah sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan.
Menurut Maskur (2008) reklamasi pantai akan membawa dampak negatif ke berbagai aspek fisik, lingkungan, ekologi, dan sosial. Pertama, dalam aspek fisik reklamasi akan menghilangkan wilayah pantai atau laut yang semula merupakan ruang publik bagi masyarakat akan berkurang karena akan dimanfaatkan sebagai kegiatan privat. Reklamasi Lamong Bay menghilangkan sebagian wilayah lautan di Teluk Lamong akibat adanya pembuatan pulau buatan yang digunakan ke berbagai fungsi kegiatan. Pembangunan Lamong Bay sendiri dapat mempengaruhi pola pemanfaatan ruang yang terdapat di kawasan pesisir Teluk Lamong. Perubahan tersebut akan meningkat seiring dengan pengembangan dan pertumbuhan ekonomi pada kawasan Lamong Bay yang direncanakan pada nantinya. Isu yang berhembus, pembangunan Lamong Bay tersebut akan mengkonversi kawasan konservasi. Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) No.4 tahun 1996 tentang Tata Ruang yang menetapkan perluasan Pelabuhan Surabaya dilakukan ke arah wilayah Kabupaten Bangkalan, Madura. Sedangkan, kawasan Teluk Lamong ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Kedua, reklamasi pantai akan menimbulkan dampak terhadap aspek lingkungan. Hal tersebut dikarenakan sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah diluar reklamasi akan mendapat limpahan air yang banyak sehingga kemungkinan akan terjadi abrasi, tergerus atau mengakibatkan terjadinya banjir atau rob karena genangan air yang banyak dan lama. Fakta menunjukkan daerah Gresik dan Surabaya yang terletak di sekitar Teluk Lamong, selama musim hujan selalu mengalami kebanjiran akibat meluapnya Kali Lamong. Luapan Kali Lamong membanjiri empat kecamatan di Gresik, yaitu Kecamatan Benjeng, Cerme, Menganti dan Kedamean yang baerada di sepanjang Kali Lamong.
Ketiga, aspek ekologi, kondisi ekosistem di wilayah pantai yang kaya akan keanekaragaman hayati sangat mendukung fungsi pantai sebagai penyangga daratan. Ekosistem perairan pantai sangat rentan terhadap perubahan sehingga apabila terjadi perubahan baik secara alami maupun rekayasa akan mengakibatkan berubahnya keseimbangan ekosistem. Ketidakseimbangan ekosistem perairan pantai dalam waktu yang relatif lama akan berakibat pada kerusakan ekosistem wilayah pantai, kondisi ini menyebabkan kerusakan pantai. Beberapa organisasi lingkungan menganggap bahwa upaya pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi akan menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau. Rusaknya hutan bakau akan berdampak buruk terhadap kondisi sosial masyarkat yang menggantungkan perekonomiannya dari sumberdaya alam pesisir.
Keempat, aspek sosialnya, kegiatan masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut. Di Surabaya Barat, akibat banjir, ratusan hektar tambak di Tambakdono Pakal, Kecamatan Benowo. Tercatat sedikitnya 700 rumah dan 1.225 hektar tambak siap panen rusak serta 500 keluarga mengungsi. Kerugian petani tambak diperkirakan Rp 12 miliar.
Pengalaman reklamasi pantai pembangunan Pantura Jakarta seharusnya dijadikan sebagai pengalaman dalam pembangunan reklamasi pantai Teluk Lamong. Seperti yang diketahui, reklamasi pantai Pantura Jakarta banyak membawa dampak negative terhadap lingkungan. Dampak dari reklamasi pantai Pantura Jakarta adalah kehancuran ekosistem berupa hilangnya keanekaragaman hayati di Suaka Margasa Keanekaragaman hayati yang diperkirakan akan punah akibat proyek itu antara lain berupa hilangnya berbagai spesies bakau di Muara Angke, punahnya ribuan spesies ikan, kerang, kepiting, burung dan berbagai keanekaragaman hayati lainnya karena Muara Angke merupakan satu-satunya kawasan hutan bakau yang tersisa di kota tersebut, mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai dan merusak kawasan tata air seluas 10.000 ha, secara sosial rencana reklamasi pantai Jakarta tersebut dipastikan juga menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber-sumber kehidupannya, dan sebagainya (http://beritahabitat.net).
Dalam pengembangan wilayah pesisir, waterfront city merupakan konsep pembangunan pantai terpadu (Intergrated Coastal Zone management) yang berprinsip pada pembangunan berkelanjutan. Upaya pembangunan Lamong Bay dalam rangka pengembangan Surabaya Waterfront City melalui reklamasi pantai merupakan upaya yang kurang tepat karena kurang mendukung proses pengelolaan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan. Reklamasi dalam konteks penataan ruang dapat diartikan sebagai proses upaya penambahan luas daratan dalam mendukung pemekaran kota dengan mengurangi luas lautan. Reklamasi pantai yang dilakukan pada pembangunan Teluk Lamong tersebut akan berpengaruh terhadap lingkungan kawasan ekosistem sekitarnya, seperti kerusakan hutan mangrove, punahnya keanekaragaman hayati di kawasan pesisir, dan banjir di wilayah sekitarnya. Upaya tersebut bertentangan dengan konsep pembangunan waterfront city dituntut menggunakan lahan yang terbatas namun sekaligus melindungi sumber daya alam yang kritis dari pengaruh rusaknya lingkungan. Meskipun proses reklamasi pantai memiliki dampak positif, namun melihat dampak masif yang negatif (khususnya konversi hutan mangrove) dalam waktu jangka panjang, reklamasi pantai yang telah dilakukan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru.
Oleh karena itu, pembangunan Lamong Bay melalui upaya reklamasi pantai diperlukan kajian mendalam dan melibatkan banyak pihak dan interdisiplin ilmu serta didukung dengan upaya teknologi. Kajian cermat dan komprehensif tentu bisa menghasilkan area reklamasi yang aman dan dinamis terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Namun, yang terpenting Pembangunan Lamong Bay haruslah berpedoman terhadap upaya pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembangunan Teluk Lamong (Lamong Bay) merupakan upaya perluasan Pelabuhan Tanjung Perak ke arah sisi timur Terminal Peti Kemas Surabaya. Selain difungsikan sebagai kawasan pelabuhan, Lamong Bay akan difungsikan sebagai kawasan komersil, industri, dan pariwisata sebagai upaya mewujudkan Surabaya Waterfront City.
2. Reklamasi pantai dalam pembangunan Lamong Bay merupakan upaya yang kurang mendukung proses pengelolaan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan karena dapat menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir di wilayah sekitarnya.
3. Konsep pengembangan kawasan kota pesisir (waterfront city) merupakan konsep pembangunan dan pengelolaaan pantai terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) yang berkelanjutan yang menuntut penggunaan lahan terbatas namun sekaligus melindungi sumber daya alam yang kritis dari pengaruh rusaknya lingkungan.
Referensi
  • Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.2006.Pedoman Kota Pesisir.Departemen Perikanan dan Kelautan
  • Dahuri, Rokhmin.1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
  • Fulyaningtyas, Septerina.2009.Arahan Pengembangan Pantai Timur Surabaya Sebagai Kawasan Ekowisata. ITS: Jurusan PWK
  • Rahmat, Adipati.2010.Jakarta Waterfront Cityhttp://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/ [13 Sepetember 2010]
  • Bapeprov Jatim.2010.Menyoal Pelabuhan Teluk Lamong.http://bappeda.jatimprov.go.id/web/artikel8.php [ 8 November 2010]
  • Waterfront City, Wujud Surabaya Kota Maritim.http://kelanakota.suarasurabaya.net/ [ 8 November 2010]
  • Cahyadi, Firdaus.2007.Menimbnag Untung-Rugi Reklmasi Pantai Utara Jakarta. http://beritahabitat.net/2007/07/11/menimbang-untung-rugi-reklamasi-pantai-jakarta/ [ 8 November 2010]
  • Maskur, Ali.2008. Rekonstrkusi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai Semarang http://eprints.undip.ac.id/16383/1/ALI_MASKUR.pdf [ 8 November 2010]