Alternatif Sumber Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur melalui Sumber Daya Alam Sebagai Sumber Pendapatan Utama Negara
Oleh :
DENY FERDYANSYAH
Mahasiswa S1 Perencanaan Wilayah dan Kota - ITS
Sudah menjadi hal yang mutlak bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pembangunan yang dilakukan di berbagai sektor, khususnya pembiayaan infrastruktur yang menyangkut kepentingan umum, membutuhkan dana yang sangat besar. Salah satu sumber utama dalam pembiayaan infrastruktur adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merupakan pedoman keuangan negara bagi pemerintah dalam melakukan pembiayaan dan penyelenggaraan pembangunan selama satu tahun. Namun, karena ketidakmampuan APBN dalam membiayai keseluruhan pembangunan di berbagai sektor, pada akhirnya sering kali dalam menutupi kekurangan dana pembangunan, pemerintah melakukan pinjaman/utang atau kerjasama dengan pihak swasta baik dalam/luar negeri. Akibatnya, anggaran pembangunan dalam APBN yang dilakukan kurang terfokus lagi pada tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melainkan bagaimana untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Terbukti, dalam rencana APBN 2011 misalnya, 25 % anggaran pengeluaran digunakan untuk membayar cicilan utang dan 50 % lainnya digunakan untuk belanja pegawai dan para pejabat, sedangkan pembangunan untuk kepentingan rakyat, misalnya melalui subsidi turun 8,2 % dari 201,3 Triliun pada tahun 2010 menjadi 184,8 Triliun pada tahun 2011. Oleh karena itu, tulisan ini, secara umum akan berupaya mengkaji lebih lanjut kapasitas APBN Indonesia dalam melakukan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Adanya alternatif sumber utama pendapatan negara yang berasal dari hasil pengelolaaan sumber daya alam Indonesia yang berpotensi menjasi sumber pembiayaan pembangunan perlu dipertimbangkan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
APBN Indonesia
Struktur APBN Indonesia sendiri terdiri diri dari pendapatan dan pengeluaran. Sumber pendapatan negara selama ini berasal dari penerimaaan perpajakan baik dalam negeri maupun hasil penerimaan perpajakan perdagangan internasional. Selain itu, terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari penerimaan sumber daya alam, laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan PNBP lainnya. Sumber pendapatan lainnya adalah hibah, bisa disebut juga ‘bantuan luar negeri’ (baca: utang). Sedangkan segi pengeluaran atau pembelanjaan, terdiri dari (1) Belanja non/kegiatan Pemerintahan Pusat (2) Transfer ke Daerah melaui dana perimbangan; dana otonomi khusus dan penyesuaian.
Selama ini, sumber utama pendapatan APBN berasal dari sektor pajak. Bahkan pada tahun 2010 sektor pajak memberikan kontribusinya sebesar 77% dari total pendapatan negara1. Sisa pendapatan lainnya didapat dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam dan laba BUMN yang jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah penerimaan dari sektor pajak. Keseluruhan pendapatan tersebut akan digunakan untuk membiayai anggaran pembelanjaan yang telah direncanakan sebelumnya, termasuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Pembiayaan Infrastruktur “MAHAL”
Seperti yang diketahui, infrastruktur merupakan fasilitas fisik beserta layanannya yang diadakan untuk mendukung bekerjanya sistem sosial-ekonomi, agar menjadi lebih berfungsi memenuhi kebutuhan dasar dan memecahkan masalah. Infrastruktur yang memadai dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Namun, sumber pendanaan pembangunan infrastruktur di Indonesia masih mengalami permasalahan klasik, dimana keterbatasan kemampuan pemerintah dalam membiayai keseluruhan pembangunan. Sehingga pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya sepanjang tahun 2010-2014 pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 1.400 Triliun untuk pembangunan infrastruktur (Jawapos, 2010). Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti proyek pembangkit listrik di Jawa Tengah, jalur kereta api Bandara Soekarno-Hatta ke Manggarai, dan proyek air bersih di Surabaya serta proyek lainnya yang masih dalam pembahasan di Bappenas dan BPKM. Namun, dari total kebutuhan dana pembiayaan tersebut, pemerintah hanya mampu memenuhi 30 % yang diambil dari dana APBN. Sehingga pemerintah masih membutuhkan dana kurang lebih Rp. 980 Triliun lagi untuk menutupi kekurangan tersebut. Dana tersebut diharapkan berasal dari pinjaman dari lembaga keuangan dan investasi dari sektor swasta.
Keterlibatan sektor swasta asing maupun dalam negeri dalam pembiayaan infrastuktur Indonesia memiliki sisi positif dan negative. Adanya bantuan investasi dari pihak swasta secara tidak langsung dapat membantu dan mempercepat pemerintah dalam melakukan pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain, investasi asing akan membebani keuangan negara dan masyarakat. Terkadang dalam mekanisme pembiayaan pembangunan infrastruktur seringkali pihak swasta diuntungkan, misalkan pada status kepemilikan dan pengelolaan operasional. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, terkadang pihak swasta menarik biaya operasional yang tinggi, sehingga keuntungan bisa didapat secara maksimal dan dalam waktu yang singkat. Tentunya, masyarakat yang sebagai pengguna jasa infrastruktur mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan. Tidak heran jika pelayanan infrastuktur menjadi barang yang “mahal”.
Sebagai alat pembangunan yang vital, infrastruktur seharusnya menjadi komponen utama dalam pembelanjaan APBN karena menyangkut kepentingan umat. Kondisi masyarakat Indonesia yang masih heterogen perekonomian, menyebabkan pemerintah harus mengakomodasi segala kebutuhan dasar, termasuk pelayanan infrastruktur. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Peningkatan kemampuan sumber pendapatan APBN, terutama dalam sumber pendapatan dari pengelolaan SDA seharusnya dapat dioptimalkan. Potensi kekayaan alam Indonesia, terutama kekayaan tambang sebenarnya berpotensi menjadi sumber utama pendapatan APBN yang pada nantinya digunakan untuk pembiayaan infrastruktur.
Potensi Kekayaan Alam Sebagai Sumber Utama Pendapatan APBN Untuk Pembiayaan Infrastruktur Indonesia
Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam yang luar biasa. Jika dihitung secara kasar sebenarnya, hasil pengelolaan kekayaan minyak dan gas bumi, batubara, barang tambang (emas, nikel), hutan, laut sudah cukup dapat menjadi sumber utama pendapatan negara. Produksi minyak Indonesia sendiri adalah sekitar 950.000 barel/hari. Bila asumsi harga minyak adalah US$ 65/barel dan nilai tukar rupiah Rp. 9.000/US$ maka nilai minyak ini hanya sekitar Rp. 202 Triliun. Bila biaya produksi dan distribusi minyak ditaksir hanya berkisar 10% dari nilai tersebut, maka nett profittnya masih di atas Rp. 182 Triliun. Namun, keuntungan ini dapat tercapai jika seluruh hasil minyak dijual dengan harga pasaran tanpa ada subsidi, yakni US$ 72 barel/hari. Sedangkan produksi gas (LNG) adalah sekitar 5,6 juta barel minyak/hari, namun harganya di pasar dunia hanya 25% dari harga minyak bumi, jadi jika di total perhitungannya akan menghasilkan sekitar Rp. 297 Triliun. Nett profit yang bisa didapat sekitar Rp. 268 Triliun. Selain itu, produksi batu bara adalah sekitar 2 juta barel minyak per hari, dengan harga pasaran di dunia sekitar 50% harga minyak. Jadi nilainya bisa sekitar Rp. 212 Triliun, atau net profitnya sekitar Rp. 191 Triliun. Produksi emas yang saat ini dikelola PT. Free Port dapat menjadi sumber masukan yang terbesar karena tambang emas Indonesia tersebut merupakan yang terbesar di dunia, produksinya bisa mencapai 200 kg emas murni per hari. Namun, karena dikelola pihak asing, maka pemerintah Indonesia hanya memperoleh pajak yang sebesar Rp. 6 Triliun/tahun. Pajak tersebut hanya 20 % dari nett profit yang didapatkan oleh PT. Free Port. Sehingga jika ditotal nilai nett profit dari tambang emas ini adalah 30 Triliun per tahun. Sektor tambang mineral logam lainnya seperti timah, bauksit, pasir, dll yang jika ditotal nilai nett profitnya mencapai minimal Rp. 50 Triliun. Dengan demikian, jumlah pendapatan dari hasil pengelolaan barang tambang adalah mencapai Rp. 691 Triliun.
Untuk produksi laut yang begitu besar bagi Indonesia, nilai potensi lestari laut baik hayati maupun non hayati, maupun wisata adalah sekitar US$ 82 Miliar atau Rp. 738 Triliun (Rokhmin Dahuri, 2006). Sedangkan produksi hutan lebih funtastik lagi. Luas hutan Indonesia diperkirakan sekitar 100 juta Ha dan untuk mempertahankan agar lestari dengan siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 % yang hanya diambail. Bila dalam 1 Ha terdapat populasi pohon minimalis sebesar 400 pohon, hal itu berarti hanya ada 20 pohon/ha yang boleh diambil manfaatnya. Mnurut harga pasaran, kayu yang berusia 20 tahun harganya mencapai Rp. 2 juta dan nett profitnya Rp. 1 juta. Maka nilai ekonomis yang didapat adalah 20 pohon/ha x 100 ha x Rp. 2 juta = Rp. 2000 Triliun. Namun, kondisi hutan kita hampir separuh telah rusak akibat illegal logging. Sekira Rp. 1.000 Triliun yang mungkin dapat kita peroleh dari hasil hutan dengan kondisi sekrang. Serta masih banyak lagi hasil kekayaan alam Indonesia yang belum dieksplorasi lebih lanjut yang bernilai ekonomi tinggi.
Hasil perhitungan kasar yang dilakukan, menunjukkan bahwa hasil pengelolaan kekayaan alam yang telah disebutkan dapat berpotensi maenjadi sumber penerimaan pendapatan utama APBN karena jika ditotal secara keseluruhan penerimaan yang diterima dari pos sumber daya alam ini adalah Rp. 2.435 Triliun (liat tabel perkiraan hasil pengelolaan SDA Indonesia). Luar biasa!!! angka tersebut hampir 200 % dari RAPBN Tahun 2011 yang hanya mencapai Rp. 1.202 Triliun.
Tabel Perkiraan Akumulasi Penerimaan
Hasil Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
No.
|
Sektor
|
Nett Profit
(Triliun)
|
1.
|
Minyak Bumi
|
Rp. 182
|
2.
|
Gas Bumi
|
Rp. 268
|
3.
|
Batu Bara
|
Rp. 191
|
4.
|
Emas
|
Rp. 6
|
5.
|
Logam Mineral
|
Rp. 50
|
6.
|
Hasil Laut
|
Rp. 738
|
7.
|
Produksi Hutan
|
Rp. 1.000
|
Jumlah Penerimaaan
|
Rp. 2.435
|
Sumber: Al-Wa’ie, 2010
Total penerimaan APBN tersebut belum termasuk penerimaan dari sektor pajak. Jika hal tersebut dapat direalisasikan maka Indonesia, mampu secara keseluruhan untuk membiayai pembangunan di negaranya, termasuk membiayai pembangunan infrastruktur. Pasalnya jika pembiayaan infrastruktur Indonesia selama tahun 2010-2014 pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 1.400 Triliun, dengan mengoptimalkan sumber penerimaan APBN dari penerimaan sumber daya alam maka 50 % dari penerimaan hasil pengelolaan SDA dapat digunakan. Sedangkan sisanya bisa penerimaan bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan lainnya. Dengan demikian permasalahan pembiayaaan dapat teratasi dan masyarakat dapat segera mencapai kesejahteraan bersama dalam bentuk pelayanan public yang berkualitas, bahkan gratis.
Namun, Pemerintah Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk mencapai itu semua karena sebagian besar pengelolaan sumber daya alam negara ita dikelola oleh pihak asing, khusus untuk hutan telah mengalami degradasi daik dari fungsi ekonomis maupun fungsi lingkungan yang dimiliki. Hal itu merupakan tanggung jawab kita bersama…
------------------------------------------------
Referensi:
- Slide Mata Kuliah Pembiayaan Pembangunan: Teori Anggaran. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
- Jawapos. 2010. Infrastrktur Inodonesia Butuh Dana 1.400 Triliun. Jawapos, 10 Agustus 2010 Hal 5.