Senin, 16 Januari 2012

Critical Review: Konsep Perencanaan Kawasan Pesisir “Waterfront City” di Kota-Kota Indonesia

Oleh: 
Deny Ferdyansyah – 3608100008
Perencanaan Wilayah dan Kota - ITS

       Kawasan pesisir merupakan kawasan yang strategis bagi pengembangan wilayah karena memiliki karakterisitik dan keunggulan yang komparatif dan kompetitif, terutama pada kawasan vital kota pesisir . Kota pesisir memiliki karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai prime movers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010). Sebaliknya, kota pesisir memiliki sensifitas tinggi terhadap degradasi lingkungan apabila eksploitasi dan pembangunan dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaaan kawasan kota pesisir diperlukan sebagai upaya pengembangan kawasan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan.
Mayoritas kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota pesisir karena lokasinya yang berada di wilayah pesisir, terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makasar. Kota-kota tersebut memiliki kawasan pesisir yang strategis yang dikembangkan sebagai kota pesisir atau yang lebih dikenal dengan sebutan waterfront city. Misalnya, perencanaan kawasan eco-waterfront city di Teluk Lamong Kota Surabaya dikembangkan sebagai pendukung kegiatan Pelabuhan Tanjung Perak yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Sehingga tidak heran jika konsep perencanaan waterfront city terus dikembangkan sesuai dengan karakteristik kawasan pesisir masing-masing wilayah.
Namun, proses dan teknik implementasi perencaaan waterfront city masih mengalami kendala. Salah satunya adalah penyediaan lahan bagi pengembangan waterfront city. Upaya yang sering dilakukan adalah mereklamasi kawasan pesisir tersebut. Sedangkan beberapa pihak menilai bahwa reklamasi dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem kawasan pesisir. Seperti kasus pengembangan waterfront city, Teluk Lamong Kota Surabaya melalui reklamasi pantai, menurut organisasi lingkungan akan merusak ekosistem pesisir, diantaranya hutan bakau yang telah menjadi penyeimbang dan penyangga ekosistem pesisir dan laut yang dapat mengancam sumber kehidupan ribuan nelayan dan petani tambak di Surabaya dan Gresik (Bappeprov Jatim, 2010).
Dengan demikian, diperlukan kajian lebih lanjut tentang aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam perencanaan waterfront city. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, dapat juga belajar  dari pengalaman kota-kota di negara maju yang sukses mengembangkan dan mengimplementasikan konsep waterfront city, seperti San Antonio (Amerika Serikat), Venesia (Italia), Darling Harbor (Sydney), Inner Harbor (Baltimore), Clark & Boat Quay (Singapura), serta Kop van Zuid (Rotterdam). Pada akhirnya, konsep perencanaan waterfront city dapat mewujudkan pembangunan kawasan pesisir yang terpadu dan berkelanjutan di Indonesia.

Konsep Perencanaan Waterfront City
       Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Waterfront city juga dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi berorientasi  ke arah perairan. Sebagai bagian dari kawasan pesisir, kota pesisir (waterfront city) memiliki karakteristik sebagai kawasan open acces dan multi use yang berpotensi sebagai primemovers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional (Rahmat, 2010).
       Pada awalnya waterfront tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai, danau) yang potensial, antara lain:  terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan untuk minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi geografis yang terlindung dari hantaman gelombang danserangan musuh. Perkembangan selanjutnya mengarah ke wilayah daratan yang kemudian berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan waterfront.
Kondisi fisik lingkungan waterfront city secara topografi merupakan pertemuan antara darat dan air, daratan yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah tinggi,terdapat tekanan air sungai terhadap air tanah, serta merupakan daerahrawa sehingga run off air rendah. Secara geologi kawasan tersebut sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas,tanah lembek, dan rawan terhadap gelombang air. Secara tata guna lahan kawasan tersebut mempunyai hubungan yang intensif antaraair dan elemen perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin dansuhu serta mempunyai kelembaban tinggi. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan, seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya waterfront city memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang berorientasi ke air dan darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat dipisahkan) di atas air. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan perairan sebagaitransportasi utama, merupakan kawasan terbuka (akses langsung) sehingga rawan terhadap keamanan,penyelundupan, peyusupan (masalah pertahanan keamanan) dan sebagainya.
Prinsip perancangan waterfront city adalah dasar-dasar penataan kota atau kawasan yang memasukan berbagai aspek pertimbangan dan komponen penataan untuk mencapai suatu perancangan kota atau kawasan yang baik. Kawasan tepi air merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang menghadap ke laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila dihubungkan dengan pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang dibatasi oleh air dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami. Berikut alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air (waterfront city).



 
   Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air
Sumber: Sastrawati, 2003

Aspek yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam penataan kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam prinsip perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan.Variabel penataan adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap komponen dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif) kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam maupun luar negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati, 2003).
Penerapan waterfront city di kota-kota negara maju dapat juga dijadikan referensi dalam perencanaan waterfront city bagi kota-kota di Indonesia. Di negara maju perencanaan dan pengembangan waterfront city didasarkan pada berbagai konsep sesuai dengan kondisi sosio-kultur, kemampuan teknologi dan ekonomi serta kebutuhan kotanya masing-masing. Kota San Antonio di Texas berhasil mengembangkan waterfront city modern yang dapat mempertahankan bangunan bersejarah dan dapat menonjolkan nuansa kesenian dan budaya setempat. Kawasan Waterfront city di pusat kota ini yang dapat meningkatkan kondisi perekonomian di Texas.
Positano dan Amalfi di Italia, mengembangkan romantic waterfront yang mengkombinasikan pelabuhan, resort dan pusat perbelanjaan yang seimbang fungsi dan skalanya. Venesia mengembangkan perairan tidak hanya sebagai edge tetapi juga sebagai jalur arteri sirkulasi kota,Vaporeti (bus air)sampai angkutan pencampur  beton, seluruhnya menggunakan jalur air. Tepian Sungai Seina di Paris dikembangkan untuk menciptakan fungsi, skala perubahan suasana yang dinamis melalui penataan kawasan komersial, industri, residensial dan rekreasi.

Waterfront City di Indonesia
Pada dasarnya, mayoritas perencanaan dan pengembangan waterfront city di kota-kota Indonesia memiliki karakteristik yang beorientasi ekonomi dan ekologis sehingga mampu menjadi prime movers pengembangan wilayah lokal, regional, dan nasional, bahkan internasional. Seperti perencanaan dan pengembangan waterfront city di Jakarta yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan masyarakat, dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan (Rahmat,2010).
Di Kota Surabaya, perencanaan waterfront city dikembangkan di Teluk Lamong dengan konsep pelabuhan modern yang mengacu pada pelabuhan modern Jepang. Selain itu, akan dikembangkan juga sebagai kawasan pergudangan, industri, dan pariwisata. Berdasarkan hasil Kajian Lingkup Hidup Startegis (KLHS) Teluk Lamong (2011) konsep yang ditawarkan adalah eco-waterfront city sebagai upaya untuk menjaga kondisi lingkungan dari kerusakan dan berkelanjutan.
Sedangkan waterfront city di Ternate telah menjadi kota mandiri (self contained city) yang dapat melayani kebutuhan penduduk di sekitarnya. Dalam konteks ekologi waterfront city di Ternate adalah bagaimana menjaga terjadinya penurunan kualitas lingkungan pada kawasan baik wilayah daratan, laut maupun perairan yang termasuk maupun tidak termasuk kawasan sensitif (Nurdin, 2009).
Waterfront city di Makasar berciri kota maritime yang kuat merupakan hasil pengujian dilapangan berdasarkan keinginan masyarakat. Masyarkat tetap menginginkan positioning Makassar yang diterapkan dalam lima visi kota sebagai kota maritime, jasa, niaga, pendidikan serta budaya (http://www.makassarterkini.com)
Berdasarkan konsep waterfront city yang ditawarkan oleh masing-masing kota – kota di Indonesia tersebut menunjukkan bahwa terdapat pertimbangan-pertimbangan perencanaan kawasan waterfront city yaitu aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.  Aspek sosial meliputi usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, patembayan dan seluruh masyarakat diwilayah itu. Usaha ekonomi meliputi usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan (sustainable) dan perbaikan kondisi-kondisi ekonomi yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik. Wawasan lingkungan meliputi usaha pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap kesetimbangan lingkungan. Aktivitas sekecil apapun dari manusia yang mengambil atau memanfaatkan potensi alam sedikit banyak akan mempengaruhi kesetimbangannya. Apabila hal ini tidak diwaspadai akan menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia, khususnya akibat dampak yang dapat dapat bersifat tak berubah lagi (irreversible changes). Ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian yang sama sesuai dengan peran dan pengaruh masing-masing pada pengembangan kawasan waterfront city (Mulyanto, 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep waterfront city merupakan salah satu konsep pembangunan yang berkelanjutan karena mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya pelestarian sumber daya, pemerataan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan lingkungan. Selain itu, jika menggunakan pendekan pengelolaan kawasan peisir yang terpadu (Integrated Coastal Zone Management) maka konsep waterfront city menggunakan prinsip ICZM yakni proses untuk pengelolaan pantai menggunakan pendekatan terpadu, mengenai semua aspek dari zona pantai, termasuk batas geografis dan politik, dalam usaha untuk mencapai pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan (Dahuri, 1996).

DAFTAR PUSTAKA
* Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.2006.Pedoman Kota Pesisir.Departemen Perikanan dan Kelautan
*  Dahuri, Rokhmin.1996.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
*   Mulyanto, H.R. 2008. Prinsip-prinsip Pengembangan Wilayah.
*  Sastrawati, Isfa. 2003. Prinsip Pereancangan Kawasan Tepi air. Jurnal PWK Vol.14
*   Rahmat, Adipati.2010.Jakarta Waterfront City
   http://adipatirahmat.wordpress.com/2010/01/06/jakarta-waterfront-city/ [13 Sepetember 2010]
*   Bapeprov Jatim.2010.Menyoal Pelabuhan Teluk Lamong.   
     http://bappeda.jatimprov.go.id/web/artikel8.php [ 8 November 2010]
* Nurdin, Nasrun Andika.2009. Corak Waterfront City Ternate. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=Corak+Waterfront+City+Ternate&dn=20090505231213 [ 9 Maret 2011]
*   ________.2010.Tujuan dan Kebijkan Penataan Ruang Kota Makasar.
* Pemerintah Propinsi Jawa Timur.2011.Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pengembangan Kawasan Teluk Lamong.

CRITICAL RIVIEW : KONSEP PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL DI KABUPATEN TANGGAMUS

Deny Ferdyansyah – 3608100008
Perencanaan Wilayah dan Kota - ITS

I.  Pendahuluan
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia diperkirakan akan mengalami banyak kerugian karena belum siap melakukan era perdagangan bebas (ekonomi global). Untuk dapat mengambil peluang, manfaat, dan keterlibatan  dalam ekonomi global tersebut, maka bangsa Indonesia membutuhkan strategi pembangunan wilayah yang diarahkan pada terjadinya pemerataan (equity), mendukung pertumbuhan (efficiency) dan keberlanjutan (suistainability). Prinsip yang dapat dijadikan indikator dalam pengembangan wilayah tersebut adalah daya saing, produktivitas, dan efisiensi. Sehingga paradigma pembangunan yang dilakukan harus lebih diorientasikan pada pembangunan spasial pada tingkat wilayah dan lokal dengan lebih mengutamakan kapasitas ekonomi lokal (local economic development).
Adanya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah membuka peluang pemerintah daerah untuk mengatur dan melakukan intervensi langsung dalam pengembangan ekonomi daerahnya. Selain itu, pemerintah daerah mempunyai wewenang dalam membuat kebijakan pengembangan ekonomi daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor unggulan yang memiliki nilai kompetitif dan berorientasi global di masing-masing wilayahnya. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya polarisasi yang mencolok antara wilayah maju dan wilayah yang kurang berkembang.
Konsep pengembangan wilayah yang berbasis ekonomi lokal merupakan konsep pembangunan yang didasarkan pada kapasitas lokal yang semakin berkembang (endogeneous development). Prinsip utama dalam implementasi pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah kemitraan. Adanya  kerjasama pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat sangat menentukkan keberhasilan dan keberlanjutan program PEL dalam suatu wilayah.
Kabupaten Tanggamus telah mengimplementasikan konsep PEL di wilayahnya. Strategi penerapan dalam PEL di Kabupaten Tanggamus melalui forum kemitraan yang terbukti dapat meningkatkan kapasitas lokal baik kemampuan kerjasama stakeholders dan optimalisasi sumber daya alam setempat. Namun, bukan berarti proses dan praktik penerapan konsep PEL di Kabupaten Tanggamus berjalan dengan optimal. Sisi kelemahan dalam proses PEL di Kabupaten Tanggamus perlu dikaji lebih lanjut kembali. Hal ini diperlukan, terutama sebagai bahan koreksi, evaluasi, dan antisipasi dalam proses perencanaan penerapan PEL di wilayah lainnya. Dengan demikian, kajian konsep PEL lebih lanjut dapat menggambarkan kerangka PEL yang lebih berkembang dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

II. Konsep Pengembangan Ekonomi Lokal
Pembangunan Ekonomi Lokal (PEL) merupakan proses pembangunan ekonomi dimana stakeholders endogeneous (pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang berperan aktif dalam mengelola sumber daya lokal untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Prinsip penerapannya adalah kerjasama stakeholders yang akan sangat menentukan keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal (Blakely, 1984 dalam Supriyadi, 2007).
Berdasarkan fokus penerapannya, tujuan PEL meliputi :
  1.  Membentuk jaringan kerja kemitraan antara pelaku ekonomi untuk pemanfaatan potensi lokal dengan meningkatkan kapasitas pasar pada tingkat lokal, regional dan global.
  2. Meningkatkan kapasitas lembaga lokal (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam pengelolaan PEL.
  3. Terjadinya koloborasi antar aktor baik publik, bisnis dan masyarakat
  4. Secara kolektif akan mendorong kondisi yang nyaman dalam pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah tumbuh dan berkembangnya usaha masyarakat dan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga berkurangnya kesenjangan antara masyarakat pedesaan dan perkotaan serta mendukung kebijakan pengentasan kemiskinan.
Dalam proses implementasi perencanaan dan penerapan PEL ini menggunakan prinsip pendekatan ekonomi, kemitraan, dan kelembagaan. 
     1.      Prinsip ekonomi
  • Mulai dengan kebutuhan pasar
  • Menfokuskan pada kluster dari kegiatan ekonomi yang ada, yang produksinya dijual ke daerah luar (economic base) dan multiplier effect di daerahnya kuat
  •  Menhubungkan produsen skala kecil dengan supplier kepada perusahaan ekspor.
     2.      Prinsip Kemitraan
  • Adanya tanggung jawab dari masing-masing stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat) sebagai aktor pengembang dan pengelola ekonomi lokal.
  • Masing-masing stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat) berperan aktif dalam bekerjasama
  • Kemitraan mengandalakan sumber daya lokal, bukan bantuan dari luar atau asing
  • Inisiatif digerakkan oleh pembeli, pasar, dan permintaan bukan produksi atau supply  
     3.      Prinsip Kelembagaan
  • Fasilitas dialog diantara stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk menghasilkan ide dan inisiatif
  • Mobilisasi sumber daya lokal untuk menunjang inisiatif yang diusulkan
  • Pengembangan kelembagaan didasarkan atas kebutuhan dari kegiatan ekonomi yang sedang berlangsung
Ketiga prinsip tersebut dapat dijadikan sebagai strategi pendekatan dan proses perencanaan mengembangkan ekonomi lokal yang dilakukan atas dasar partisipasi dan kemitraan dalam kerangka pengembangan kelembagaan. Partisipasi dalam konteks pemerintah diartikan sebagai forum yang terorganisasikan guna menfasilitasi komunikasi antar pemerintah, masyarakat dan stakeholders dan berbagi kelompok yang berkepentingan terhadap penanganan masalah atau pengambilan keputusan. Partisipasi dan kemitraan antar pelaku dalam PEL berkaitan erat dengan prinsip keterbukaan, pemberdayaan, efesiensi, dan good governance.
Dengan demikian, dalam keberhasilan pengembangan ekonomi lokal dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu:
  1. Perluasan kesempatan bagi masyarakat kecil dalam kesempatan kerja dan usaha
  2. Perluasan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan
  3. Keberdayaan lembaga usaha mikro dan kecil dalam proses produksi dan pemasaran
  4. Keberdayaan kelembagaan jaringan kerja kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal (Supriyadi, 2007)
     Dalam konteks pembangunan wilayah, keberhasilan PEL akan mendorong percepatan pertumbuhan wilayah yang berkembang dan tertinggal. Sehingga akan berkurangnya anggapan eksploitasi pembangunan wilayah maju terhadap wilayah miskin (kesenjangan wilayah). Pada akhirnya, konsep PEL menjadi alternatif bagi pengembangan wilayah yang didasarkan atas pembangunan kapasitas lokal (sumberdaya alam, manusia, kelembagaan) semakin berkembang.

III. Critical Review: Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Tanggumus
Salah satu daerah yang telah menerapkan konsep pengembangan ekonomi lokal dalam mengembangkan wilayahnya adalah Kabupaten Tanggamus. Kabupaten Tanggamus merupakan salah satu kaupaten yang berada di tepi barat Propinsi Lampung. Kopi merupakan komoditas unggulan dan penting bagi perekonomian Propinsi Lampung. Propinsi Lampung merupakan penghasil kopi terbesar di Indonesia, sedangkan Kabupaten Tanggamus merupakan penghasil kopi terbesar di Propinsi Lampung.
Strategi yang diterapkan dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Tanggamus diterapkan melalui pendekatan Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL). KPEL merupakan salah satu upaya pendekatan untuk mendorong aktivitas ekonomi untuk mendorong kemitraan bagi pemerintah-masyarakat-swasta dan menfokuskan pada pembangunan aktivitas klaster ekonomi, sehingga terbangun keterkaitan (linkages) antara pelaku-pelaku ekonomi dalam sauatu wilayah dengan pasar. Program KPEL di Kabupten Tanggamus mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dengan menggunakan 3 strategi inti, yaitu :
     1.Pembentukan Forum Kemitraan
Untuk menjaga kepentingan dan keterlibatan, para stakeholders bergabung dengan sebuah Forum Kemitraan Kabupaten Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal (FKKPEL). FKKPEL menyiapkan forum-forum untuk berdialog, merencanakan, pengembangan strategi dan pembuatan keputusan terkait dengan pengembangan klaster kopi dan ekonomi lokal. Anggota FKKPEL ini meliputi pemerintah lokal (Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat), Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APKI) Lampung, perwakilan petani dari tingkat desa, kelompok wanita tani, KUD Margo Rukun dan Universitas Negri Lampung. Peranan FKKPEL dalam pengembangan ekonomi lokal Kabupaten Tanggamus adalah mendorong kemampanan organisasi atau basis kolektif, meningkatkan keterampilan dan kapasitas petani serta menyiapkan wadah bagi para produsen untuk terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan.
     2. Pengembangan Klaster 
  Pada awal pemilihan klaster dilakukan oleh tim dari Fakultas Pertanian Universitas Negeri Lampung yang menghasilkan sejumlah rekomendasi komoditas pilihan yang layak dipilih. Kemudian penentuan komoditas dilakukan dalam forum bersama yang melibatkan seluruh stakeholders yang berkepentingan. Hasilnya disepakati bahwa pengembangan klaster kopi dipakai untuk menstimulasi perekembangan ekonomi lokal. Untuk mewujudakannya, terdapat prioritas aksi yang dilakukan, yaitu (a) pembentukan jaringan dan pengembangan kerjasama antara petani dan pedagang (b) pertukaran informasi dan pengetahuan (c) memperbaiaki produksi dan pengelolaan pasca panen (d) memperbaiki diversikasi dan (e) menjamin pemasaran bersama.
   Selanjutnya dalam perkembangannya, telah dilakukan kerjasama antara petani kopi dan PT. Nestle Indonesia yang dikaitkan dengan pemberian bantuan teknik dan kegiatan kapasitas building. Selain itu, muncul usaha petani kopi untuk melakukan upaya diversikasi baik dalam rangka meningkatkan keterkaitan ke depan (forward linkages) dan dengan proses panen menjadi kopi bubuk maupun dengan membudidayakan tanaman lain. Hal ini membuat kegiatan petani dapat menghasilkan harga yang lebih baik dan tambahnya peluang pekerjaan. Sebagai hasilnya, kenaikan penjualan kopi petani telah mencapai hingga 300% melalui penjualan kolektif ke pedagang besar di Kabupaten Tanggamus seperti PT. Indocom, Pabrik Kopi Intan, Hotel Sartika dan Hotel Marcopolo.
   Selanjutnya, petani kopi ini telah merencanakan untuk menambah add value pada produknya, tidak sebatas biji kopi, tetapi juga menjual kopi bubuk yang diproduksi bersama-sama oleh seluruh petani. Mereka pun juga berupaya unutk meningkatkan kualitas kopi biji dengan mengurus berbagai perijinan termasuk sertifikasi dari Dinas Kesehatan setempat.
     3.Penguatan Kapasitas Produsen dan Kelompoknya
Beberapa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas produsen dan kelompok di Kabupaten Tanggamus antara lain : (a) pembentukan basis kelompok kolektif – Kelompok tani, dimana pembentukan kelompok tani ini dimulai dari tingkat desa; (b) peningkatan kapasitas da keterampilan (c) pembentukan jaringan da kerjasama antar petani dan pedagang (d) pertukaran informasi dan pengetahuan (e) diversifikasi (f) skala ekonomis untuk pemasaran bersama.
Dengan adanya pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Tanggamus, kepentingan bersama para stakeholders menyepakati bersama untuk mengembangkan ekonomi lokal melalui pengembangan klaster kopi  termasuk peningkatan kualitas biji kopi, alternative diversikasi, peningkatan ketrampilan dan teknologi, perluasan pasar, penguatan posisi tawar petani, serta peningkatan pendapatan petani.
Dalam upaya pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Tanggamus telah mengupayakan pemanfaatan sumberdaya lokal yakni kopi, bahkan telah menjadi komoditas unggulan tingkat propinsi. Selain itu, dalam upaya pendekatan telah tepat karena menggunakan pendekatan pengembangan ekonomi lokal melalui kemitraan yakni dengan terbentuknya KPEL. Seperti yang diketahui bahwa PEL itu sendiri merupakan proses pembangunan kapasitas ekonomi lokal dimana publik, bisnis, LSM, bersama secara kolektif menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan.

Pada dasarnya, dalam pengembangan ekonomi lokal di Kabupetan Tanggamus telah menerapkan prinsip-prinsip konsep PEL yaitu prinsip ekonomi, kemitraan dan kelembagaan. Dalam prinsip ekonomi, PEL di Kabupaten Tanggamus tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan pasar, namun juga melihat peluang pasar. Sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia, Kabupaten Tanggamus telah memiliki modal awal untuk memenuhi supply kopi dalam negeri, bahkan luar negeri. Selain itu, kopi selain sebagai sebagai komoditas unggulan, juga menjadi klaster ekonomi yang mampu menjadi multiplier effect bagi pengembangan ekonomi setempat. Hal tersebut terbukti dengan adanya diversifikasi produk bji kopi menjadi bubuk kopi. Para petani kopi tersebut juga telah bekerjasama dengan perusahaan lokal, seperti PT. Nestle Indonesia, yang merupakan perusahaan internasional terbesar pengolah biji kopi. Hasil tersebut secara tidak langsung telah meningkatkan pendapatan petani kopi sebelumnya dan peningkatan lapangan kerja.

Sedangkan dalam prinsip kemitraan PEL, stakeholders di Kabupaten Tanggamus telah berperan aktif dan bekerjsama dalam mengembangkan ekonomi lokal. Keterlibatan Bappeda, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan instansi lokal lainnya, menunjukkan adanya tanggungjawab pemerintah lokal dan industri lokal terhdapa pembangunan ekonomi setempat. Adanya koloborasi aktif dan tindakan kolektif baik publik, bisnis, masyarakat telah menumbuhkan kondisi yang nyaman dan kondusif bagi keberlangsungan PEL. Hal ini tentu akan berdampak positif bagi pengembangan wilayah di Kabupaten Tanggamus.

Dalam prinsip kelembagaan, PEL Kabupaten Tanggamus juga telah mendorong terbentuknya kelembagaan lokal dalam skala kecil yang menjadi fasilitas bagi pengembangan komunitas setempat, seperti terbentuknya paguyuban atau “Asosiasi Petani” kopi. Terbentuknya lembaga tersebut menunjukkan bahwa para petani sadar akan keuntungan dan kerjasama antara produsen. 

Dalam sudut pandangan pengembangan wilayah, PEL yang dilaksanakan di Kabupaten Tanggamus belum menjelaskan dan menunjukkan suatu wilayah yang berkembang. Padahal dari segi pelaksanaan PEL sendiri Kabupaten Tanggamus dianggaap telah berhasil. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan unutk mendorong inovasi penerapan implementasi PEL dalam satu struktur yang terintegrasi. Beberapa strategi yang dapat dikembangkan bagi PEL selanjunya adalah sebagai berikut:
  1. Memperbaiki keberadaan sumberdaya ekonomi lokal melalui investasi baik modal fisik maupun manusia unutk menjaga keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal komoditas kopi.
  2. Membangun fasilitas pendidikan dan penelitian untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kapasitas produksi
  3. Memasarkan kemampuan dan keunggulan wilayah kepada dunia usaha di luar wilayah melalui pameran produk
Secara keseluruhan pengembangan ekonomi lokal seharusnya memiliki kekuatan dalam pendekatan pembangunan yang bertumpu pada kemampuan lokal, keterkaitan pasar dan keterkaitan antara desa-kota. Adanya upaya kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan baik keterkaitan usaha hului hilir maupun keterkaitan antara spasial desa kota akan meningkatkan nilai tambah komoditas dan berkembangnya diversifikasi usaha. Hal ini akan memunculkan pandangan strategis mengenai pengembangan wilayah melalui pengembangan ekonomi.

IV. Penutup 
Pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Tanggamus, setidaknya menjadi pembelajaran dalam proses perencanaan dan penerapan konsep pengembangan ekonomi lokal. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka dari studi kasus penerapan PEL di Kabupaten Tanggamus disimpulkan bahwa :
  1. Pengembangan ekonomi lokal merupakan konsep pengembangan wilayah dalam upaya pemanfaatan dan pemberdayaan sumber daya lokal baik fisik, masyarakat maupun kelembagaan. Dalam prinsip penerapan pengembangan ekonomi lokal lebih mengedepankan pendekatan kemitraan sebagai penentu keberlangsungan dan keberlanjutan ekonomi.
  2. Pengembangan ekonomi lokal di Kabupten Tanggamus telah sesuai dengan prinsip ekonomi, kemitraan, dan kelembagaan dan berhasil dalam mengorganisasi pengembangan ekonomi melalui kerjasama stakeholders setempat.
  3. Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Tanggamus belum menunjukkan secara pasti kemajuan Kabupaten Tanggamus. Oleh karena itu, untuk mengoptimalisasi pengembangan ekonomi diperlukan inovasi kebijakan diantaranya adalah memperbaiki keberadaan sumberdaya ekonomi lokal melalui investasi baik modal fisik maupun manusia untuk menjaga keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal komoditas kopi, membangun fasilitas pendidikan dan penelitian untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kapasitas produksi, memasarkan kemampuan dan keunggulan wilayah kepada dunia usaha di luar wilayah melalui pameran produk.
Sumber Referensi
  • Tarigan, Antonius. 2005. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21: Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Tanggamus. Jakarta: Yayasan Sugijanto Soegijoko-URDI
  • R. Supriyadi, Ery. 2007. Telaah Kendala Penerapan dan Pengembangan Ekonomi Lokal: Pragmatisme dalam Praktek Pendekatan PEL. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 18 No. 2 Agustus 2007 Hal 103-123

Minggu, 08 Januari 2012

Peran Kelembagaan dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir (Studi Kasus: Pengelolaan Wilayah Pesisir & Laut Terpadu Di Srilangka)


Oleh:
Deny Ferdyansyah – 3608100008
Masiswa S1 Perencanaan Wilayah dan Kota
PENGANTAR
Dalam bukunya, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Rohmin (2001) memaparkan berbagai pengalaman negara-negara lainnya dalam mengelola kawasan pesisir dengan menggunakan pendekatan pengelolaaan wilayah pesisir dan laut yang terpadu (PWPLT). Mayoritas negara-negara yang diceritakan merupakan negara yang sebagian besar wilayahnya pesisir, seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, Thailand, Oman, Republik Maldives dan Srilangka. Negara-negara tersebut dapat dikatakan telah sukses mempelopori perencanaan dan pembangunan wilayah pesisir yang terpadu dan berkelanjutan yang sedang berkembang kurang lebih 30 dekade selama ini. Sukses tersebut terimplementasi dari strategi dan program pengelolaan wilayah pesisir dalam upaya merespon isu strategis yang sedang berkembang melalui pendekatan terpadu di negara masing-masing.
Dari berbagai pengalaman negara-negara tersebut, menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah pengalaman pengelolaaan wilayah pesisir dan laut di Negara Srilangka. Salah satu negara Asia Selatan tersebut, sukses menerapkan strategi pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang terpadu sejak pertengahan 1970-an. Kajian terhadap kunci suksesnya pengelolaan wilayah pesisir di negara tersebut menjadi suatu hal yang penting mengingat Negara Srilangka memiliki karakteristik kawasan pesisir yang sama dengan pesisir di negara Indonesia. Bahkan sistem pengelolaan wilayah pesisir di Srilangka bukan tidak mungkin menjadi percontohan bagi pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir di Indonesia.
Salah satu isu dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan adalah konflik pengelolaan wilayah pesisir yang tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintahan daerah, masyarakat setempat dan swasta yang memiliki berbagai kepentingan masing-masing. Padahal dalam proses pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu (PWPLT) dituntut implementasi yang berkesinambungan dan dinamis dengan mempertimbangkan segala aspek sosio-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Rohmin, 2001). Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah pesisir dimana perencanaan sektoral yang berpotensi menimbulkan berbagai kepentingan instansi ke perencanaan terpadu yang melibatkan stakeholders yang berkepentingan di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, critical riview ini bermaksud secara ringkas menyoroti 2 hal yaitu :
1.    Percontohan dalam penggunaan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu (PWPLT) untuk mengoptimalkan sumberdaya wilayah pesisir dengan mengambil pembelajaran dan pengalaman Negara Srilangka yang telah sukses menerapkan sebelumnya.
2.    Peran kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir di Negara Srilangka yang bersifat praktis dan menghasilkan keluaran (output) yang nyata (tangible) secara berkelanjutan bagi stakeholders di  wilayah tersebut.

Riview Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu di Srilangka
Kebutuhan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Srilangka merupakan respon dari isu strategis yang terus berkembang di wilayah tersebut, yakni isu pengembangan penambangan karang. Sebagai upaya perlindungan keseimbangan ekosistem pesisir dan laut, maka Pemerintahan Srilangka mengeluarkan kebijakan berupa perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan penambangan karang. Namun, kebijakan tersebut mendapat protes dari masyarakat karena 2.000 orang bergantung pada kegiatan penambangan karang tersebut dan dianggap berdampak terhadap kondisi sosial-ekonomi masyrakat setempat.
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu (PWPLT) dimulai di Srilangka sejak pertengahan 1970-an dan terus berkembang hingga sekarang. Dalam tulisannya, Romin (2001) menunjukkan tahapan pengelolaan wilayah pesisir dan laut Srilangka terbagi menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama pada pra abad 20 dan generasi kedua pada pasca abad 20. 
Pada pra abad 20, pengelolaan wilayah pesisir Negara Srilangka diwujudkan dalam 3 dokumen, yakni Master Plan for Coastal Erosion Management (MCEM), Coastal Zone Management Plan (CZMP) dan Draft Coast 2000. Salah satu dokumen yang memberikan kontribusi secara tangible adalah CZMP. Pada awal persiapan perumusan CZMP diwujudkan dengan berbagai startegis pengelolaaan sumberdaya pesisir diantaranya adalah (1) membantu agar kegiatan ganda esturia, laguna dan mangrove di wilayah pesisir Srilangka memberikan hasil yang berkelanjutan, (2) memberikan 764 perijinan bagi kegiatan pembangunan, (3) mensosialisasikan kebutuhan pengelolaan wilayah pesisir melalui seminar-seminar yang terorganisir, dan (4) mengembangkan hubungan dengan badan-badan yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pengelolaan wilayah pesisir.
Salah satu proyek yang dikembangkan dalam CZMP adalah merencanakan pengelolaan lingkungan pesisir di pesisir barat Srilangka, yaitu dari Kalpitiya sampai Tanjung Dora dan dari tepi paparan benua sampai 5 mil ke arah darat serta mencakup daerah-daerah hulu yang memiliki dampak terhadap lingkungan pesisir. Adapun pelaksanaan CZMP yang komprehensif melingkupi seluruh wilayah pesisir dan mencakup berbagai aspek pengelolaan sumberdaya arkelogis, sejarah, kebudayaan, estetika, dan rekreasi. Sedangkan strategi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.    Mengusulkan standar kelayakan bagi berbagai lokasi di sekitar pesisir
2.    Mengharuskan dilakukannya Analisis Dampak Lingkungan  (AMDAL) bagi kegiatan-kegiatan pembangunan yang berpotensi dampak
3. Memberikan pedoman bagi kegiatan pengambilan pasir dan melarang kegiatan tambang pasir di daerah pantai, tanjung, serta wilayah lain yang berdekatan dengan terumbu
4.    Melarang kegiatan tertentu seperti pengambilan karang, kecuali untuk penelitian
5. Melarang kegiatan pembangunan tertentu yang merusak kualitas daerah alami tertentu
6.    Mencegah kerusakan habitat pesisir alami
7. Mengendalikan pembangunan pesisir yang terdapat tempat perlindungan laut, burung, dan satwa liar
8.    Merancang daerah-daerah konservasi di kawasan pesisir lainnya
Berbagai kebijakan pengelolaan wilayah pesisir tersebut dijadikan pengalaman dan dikembangkan kembali serta dituangkan dalam draft Coast 2000 yang memuat strategi pengelolaan pesisir di Srilangka generasi kedua.
Dokumen Coast 2000 terbagi menjadi dua, yakni dokumen pertama membahas mengenai kondisi eksisting pengelolaan wilayah pesisir saat ini. Sedangkan dokumen kedua mengkaji kebijakan, startegi, dan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara komprehensif. Strategi pengelolaan wilayah pesisir yang dikembangkan dalam generasi kedua ini adalah sebagai berikut :
1.  Melakukan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dilakukan secara terpadu dan serentak pada tingkat nasional, propinsi dan daerah
2.    Melibatkan partisipasi pemerintah dan nonpemerintah aka dipusatkan pada program baru
3.  Merencanakan dan mengimplementasikan daerah pengelolaan wilayah pesisir bagi daerah khusus dan strategis baik secara lokasi geografis maupun ekonomi
4.  Memonitoring penelitian yang berkaitan dengan permasalahan khusus dengan habitat lokal, perikanan, kualitas perairan, pemanfaatan sumberdaya nonhayati,  budidaya perikanan, dan pariwisata
5.  Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir melalui segala aspek, terutama dalam aspek pendidikan
  Berdasarkan pengalaman pengelolaan wilayah pesisir negara Srilangka tersebut telah dijelaskan menunjukkan bahwa kebutuhan perencanaan wilayah pesisir merupakan suatu hal yang urgent dilakukan oleh beberapa pihak/stakeholders yang terkait untuk menanggapi isu strategis, khususnya yang mampu berdampak terhadap lingkungan pesisir. Kebijakan dan strategi yang dilakukan pun melalui pendekatan perencanaan wilayah pesisir dan laut yang terpadu, dimana pengelolaan dirancang dan diimplementasikan dalam bentuk siklus, sehingga komponen perencanaan, implementasi, dan evaluasi dilakukan secara berkesinambungan.
     Hal yang paling berkesan dalam pengalaman Srilangka dalam mengelola sumberdaya pesisir adalah kemampuan negara yang telah merespon urgensi dari pengelolaan wilayah pesisir yang dilakukan sejak pada awal 1970-an. Artinya, negara Srilangka merupakan negara yang tanggap terhadap kondisi permasalahan pembangunan wilayahnya berdasarkan karakteristik sebagai negara pesisir. Berbeda dengan negara Indonesia, yang memulai merespon pengelolaan wilayah pesisir menjadi suatu kebutuhan baru pada 1sepuluh tahun yang lalu.
      Namun, pembahasan pengelolaan wilayah pesisir di Srilangka masih perlu dikaji lebih lanjut, mengingat pengalaman negara Srilangka yang dibahas masih secara umum, belum secara komprehensif membahas mengenai keterkaitan terhadap aspek-aspek dalam pengelolaan wilayah pesisir. Selain itu, akibat terbatasnya informasi tentang pengelolaan wilayah pesisir di negara tersebut, pada akhirnya pembahasan yang ditunjukkan hanya sebatas keberhasilan-keberhasilan yang telah dilakukan.

Kritik Pengelolaan Wilayah Pesisir di Srilangka Ditinjau dari Aspek Kelembagaan
Suksesnya implementasi dari CZMP di Srilangka tidak terlepas dari kapasitas kelembagaan yang terkait dalam mendorong berbagai pihak untuk mengembangkan sumberdaya wilayah pesisir yang berkelanjutan. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Srilangka adalah sebagai berikut :
1.    Coastal Conservation Division (CCD)
2.    Ceylon Tourist Board
3.    Urban Development Authority
4.    Center Environmental Authority
5.    Center Environmental Agency (CEA) atau Badan Lingkungan Pusat
6.    Departemen Kehutanan
7.    Departemen Perikanan
8.    Berbagai lembaga non pemerintahan
9.    Dll.
Dari berbagi pihak stakeholders tersebut, peran besar dilakukan oleh Coastal Conservation Division (CCD) yang merupakan lembaga penelitian khusus yang mengkaji pengelolaan wilayah pesisir yang berkedudukan di bawah Kementerian Perikanan. Pada awal nya CCD lah yang menginisiasi adanya pengelolaaan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan di Srilangka hingga terumuskan konsep Coastal Zone Management Plan (CZMP). CCD juga mendorong berbagai srakeholders terkait yang mempengaruhi dan berkepentingan di wilayah pesisir untuk saling bekerjasama dalam mengatasi isu permasalahan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, terutama terkait dengan isu strategis yang sedang berkembang pada saat itu, yaitu penambangan karang.
Selain itu, CCD bekerjasama dengan Badan Lingkungan Pusat (CEA: Center Environmental Agency) menggagas perencanaan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dari Kalpitiya sampai Tanjung Dora dan dari tepi paparan benua sampai 5 mil ke arah darat serta mencakup daerah-daerah hulu yang memiliki dampak terhadap lingkungan pesisir. Bersama-sama dengan stakeholders lainnya CCD merumuskan kebijakan dan startegi pengelolaaan wilayah pesisir yang terpadu. Hingga memasuki generasi kedua dalam pengelolaan wilayah pesisir Coast 2000, CCD tetap berkontribusi dalam mendukung dan memaksimalkan potensi wilayah sumberdaya wilayah pesisir di Srilangka.
Kelebihan dari pengalaman Negara Srilangka dalam pengelolaan wilayah pesisir ditinjau dari aspek kelembagaan adalah inisiatif dari kelembagaan pemerintah yang mendukung secara penuh bagi pengembangan potensi sumberdaya wilayah pesisir.  Partisipasi kelembagaan pemerintah telah berhasil bekerjasama dan berkoordinasi baik di tingkat nasional maupun lokal. Koordinasi interlembaga di kedua tingkat tersebut dapat dikatakan memiliki hubungan yang erat.
Namun, yang masih menjadi kelemahan dalam kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir adalah belum teinformasikannya partisipasi masyarakat pesisir di Srilangka sendiri. Selain itu, belum terbangunnya suatu kelompok masyarakat  yang memiliki kapasitas unutk pengelolaan tingkat lokal. Tentu hal ini menjadi penting, karena dapat menjadi pendukung secara aktif menyokong dan menggunakan, memberikan masukan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang efektif.
Demikian sekilas pengalaman negara Srilangka dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisir. Harapannya bisa menjadi referensi dan pelajaran bagi pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia. Apalagi negara Indonesia merupakan negara yang memiliki potensin besar dibidang pengembangan wilayah pesisir. Selain itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut oleh ahli dalam bidang perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir sehingga mampu didapatkan pengelolaan wilayah pesisir yang sesuai dengan karakteritik dari wilayah pesisir di Indonesia. Mari wujudkan pesisir Indonesia yang terpadu dan berkelanjutan!


*Sumber Artikel : Pengalaman Negara-Negara Lain dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut, dalam Buku Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Rohmin Dahuri, et. all, 2001.