Jumat, 09 Desember 2011

MENUJU "105", WILL BE DEDICATED FOR ITS!

Peluang Bike2Campus di ITS (part 1)...
Tau ga sih sekarang lagi ngetrend nggowes..???
Tau ga sih sekarang di Kampus ITS ada jalur sepeda ...???
Tau ga sih berapa dosen, mahasiswa, karyawan di Kampus ITS mungkin beralih menggunakan sepeda ke kampus...???
Sedikit ingin berbagi "kegalauan" dengan anda. Semoga bermanfaat.
 

***
Dinamika pertumbuhan dan perkembangan kota-kota dunia menuntut adanya keserasian pembangunan yang selaras dengan daya dukung lingkungan. Isu pemanasan global, urbanisasi, dan semakin langkanya sumber daya telah terjadi pada abad ini dan merubah paradigma pembangunan kota yang berorientasi kepada pembangunan yang berkelanjutan (suistinable development). Salah satu integral dari suistanable development tersebut dijabarkan secara operasional dalam konsep kota hijau atau eco-city. Eco City merupakan sebuah konsep pembangunan kota berkelanjutan yang menggabungkan prinsip pembangunan green building dengan memanfaatkan teknologi informasi (ICT) untuk mengurangi dan menghilangkan dampak-dampak buruk kota terhadap lingkungan (Ecocity World Summit, San Fransisco, 2008). Eco city mengedepankan pembangunan kota yang berwawasan lingkungan dan menekankan adanya ketergantungan fisik dari masyarakat pada kondisi lingkungan (Kompas, 2010). Lebih lanjut lagi, konsep Eco city telah berkembang menjadi Eco2 Cites (ecological – economic cities) yang tidak hanya menekankan pada pembangunan kota berwawasan lingkungan, tetapi juga mengintegrasikan antara upaya perbaikan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi kota (Suzuki et. al, 2010).

Pembangunan berkelanjutan ditekankan pentingnya pertimbangan keberlanjutan ekonomi (economy), lingkungan (environment), dan pemerataan (equity) terhadap lintas generasi. Dalam aspek transportasi, sustainable transport sebagai bagian dari sustainable development secara umum dikembangkan melalui tiga syarat, yaitu peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat (economy), meminimasi dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup (environment), serta keberlanjutan sumber daya (equity) (Kusumantoro dalam Rachmandita, 2009). Dari sisi transportasi, menciptakan kota yang berwawasan lingkungan (eco city) dapat diupayakan dengan mengurangi volume kendaraan yaitu melalui penggunaan angkutan umum massal atau penggunaan kendaraan ramah lingkungan. Berkenaan dengan hal itu, Kenworthy (2006) mengemukakan 10 dimensi kritis tentang eco-city, yang dapat disebut juga sebagai kriteria-kriteria kota berkelanjutan. Salah satunya terkait dengan transportasi adalah mewujudkan kota berkelanjutan dengan cara meminimalkan jumlah kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor, dan transportasi diarahkan ke penggunaan sepeda dan jalan kaki.

Penerapan eco-city membutuhkan dukungan dan komitmen bersama dari dari seluruh stakeholders, seperti pemerintah kota, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, swasta dan peran aktif masyarakat. Selain itu juga, keberhasilan pelaksanaan eco-city terwujud dari pelaksanaan di berbagai komponen perkotaan meliputi permukiman, kawasan industri, pertokoan, fasilitas umum seperti kantor pemerintahan, sekolah, kampus, rumah sakit, dan lain-lain. Upaya dukungan dapat dilakukan dengan peningkatan kepedulian masyarakat yang didorong melalui penciptaan gaya hidup berwawasan lingkungan (Artiningsih, 2009). 

Perguruan tinggi atau kampus merupakan bagian dari komponen penting perkotaan yang dapat menjadi obyek sasaran pengembangan eco-city. Kampus merupakan lingkungan sebuah komunitas intelektual dan modern yang berperan memberikan satu pencerahan kepada masyarakat (Yusuf, 2010). Berawal dari kampus, perubahan menuju tatanan masyarakat yang berbasis lingkungan, dapat diterapkan dengan membentuk pola hidup ramah lingkungan melalui pengembangan fisik seperti sarana dan prasarana serta pengelolaan lingkungan. Kampus yang telah peduli lingkungan dan telah melakukan pengelolaan lingkungan secara sistematis dan berkesinambungan disebut eco-campus (Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011).

Arah pembangunan kota Surabaya, sesuai dengan visi kota Surabaya tahun 2025 yang telah dicanangkan pemerintah kota, adalah menuju “Kota jasa yang nyaman, berdaya, berbudaya dan berkeadilan”. Pembangunan menuju kota jasa ini meningkatkan mobilitas warga kota dan moda transportasi yang paling banyak digunakan warga Surabaya saat ini adalah kendaraan bermotor. Tingginya mobilitas warga, juga diikut dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor setiap tahun, kemacetan lalu lintas pada jam-jam sibuk, dan pada akhirnya berdampak pada penurunan kualitas udara bersih kota Surabaya. Kenyamanan lingkungan menurun seperti laporan Badan Lingkungan Hidup (BLH) menyebutkan tingkat polusi udara di Surabaya tergolong tinggi, menyusul Indeks Standar Polusi Udara (ISPU) yang menunjukkan indeks ‘Berbahaya’. Kajian Ekologi Lahan Basah merilis tingginya Carbon Monoksida (CO) sebagai emisi gas buang kendaraan bermotor di Surabaya mencapai 5.480.000 ton/tahun. Sebagai indikator yang bisa dirasakan warga adalah perbedaan antara suhu udara pada siang hari yang panas (30 derajat Celsius) dengan suhu udara pada malam hari yang dingin sebesar 26 derajat Celcius (Laurenz dan Tanzil, 2009).
Melalui kebijakan pengembangan eco2 cities, Pemerintah Kota Surabaya berupaya melakukan pembenahan untuk meningkatkan kualitas hidup warga kota Surabaya, yang selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang Salah satu kebijakan yang dilakukan yaitu melakukan perbaikan sistem transportasi kota, penggunaan kendaraan yang hemat energi, meningkatkan kesadaran warga masyarakat akan kehidupan yang sehat, yang disertai dengan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung lingkungan hidup yang sehat (Laurenz dan Tanzil, 2009). Kebijakan perbaikan sistem transportasi Kota Surabaya dilakukan terintegrasi dengan rencana pengembangan tata guna lahan yang diarahkan dengan memperluas penggunaan sarana transportasi massal yang berdaya angkut banyak seperti trem dan monorel (Jawapos, 2011). 
Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya berkomitmen untuk berperan aktif dalam pengembangan ilmu dan teknologi serta penerapan gaya hidup yang berwawasan lingkungan. Sejalan dengan prinsip pengembangan eco-city, telah dikembangkan Master Plan Pengembangan ITS berbasis eco-campus. Pengembangan eco-campus yang dilakukan mencakup pengembangan green buliding, perluasan ruang terbuka hijau, penghematan sumberdaya energi, pengelolaan limbah dan sampah, dan pengembangan transportasi yang ramah lingkungan (http://www.ecocampus.its.ac.id/favicon.html). 
Salah satu program pengembangan ITS eco-campus adalah pengembangan sistem pergerakan internal yang, aman, nyaman, sehat dan manusiawi. Bentuk dukungan real telah dibuktikan dengan penyediaan jalur sepeda (bike line) yang akan terintegrasikan dengan moda transportasi yang lainnya http://www.ecocampus.its.ac.id/favicon.html). Bahkan, untuk mendukung rencana pengembangan jalur sepeda tersebut, ITS akan mencanangkan areal kampus bebas kendaraan pribadi dengan melarang penggunaan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor bagi setiap dosen, karyawan, dan mahasiswa serta meningkatkan sarana dan prasarana  jalur sepeda seperti parkir sepeda dan penyediaan 600 sepeda gratis saat masuk kampus atau bike share (http://stat.k.kidsklik.com/data/2k10/kompascom2011/images/bk_kompascom). 
Program eco-campus tersebut pada hakikatnya sejalan dengan kriteria pengembangan eco-transportation dalam eco-city dimana upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui kota yang berwawasan lingkungan dapat dilakukan dengan meminimalisir pergerakan kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda dan trasnportasi lebih diarahkan dengan penggunaan trasnportasi yang ramah lingkungan seperti sepeda (Kenworthy, 2006). Lebih luas lagi, Roberts (2000) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan akan lebih mudah terwujud jika dijabarkan dalam suatu strategi multi-sektor yang terintegrasi dengan upaya-upaya pembangunan sistematis yang berkemampuan untuk merubah perilaku, dibandingkan dengan hanya memuat kondisi akhir yang diinginkan dalam suatu produk perencanaan dengan aturan yang normatif yang hanya bersifat pengendalian. Dari aspek transportasi, perubahan perilaku tersebut diterjemahkan dalam peningkatan kepedulian masyrakat yang didorong melalui penciptaan kawasan gaya hidup berwawasan lingkungan. Gaya hidup tersbut dipraktekkan datas pilihan penggunaan kendaraan pro-lingkungan yaitu pemilihan kendaraan angkutan umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi, atau melalui penggunaan kendaraan non-motorized seperti sepeda (Artiningsih, 2009).
Sepeda merupakan salah moda transportasi non kendaraan bermotor  yang dapat dianggap sebagai moda transportasi yang berkelanjutan (Budi, 2010).  Dari sisi lingkungan, sepeda merupakan moda transportasi yang ramah lingkungan karena tidak membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sama sekali dan tidak menimbulkan polusi. Dari sisi sosial, sepeda merupakan aktivitas yang biasa dilakukan oleh semua golongan, baik orang  tua, muda dan anak-anak, kaya atau miskin. Dari sisi ekonomi, sepeda digemari karena tidak mengeluarkan biaya (Artiningsih, 2010). 
Namun, pengembangan jalur sepeda di kampus ITS menjadi hal yang kontra produktif bagi sistem transportasi. Artinya, pengembangan jalur sepeda tidak efektif bagi pengembangan infrastruktur jalan kampus karena berimplikasi terhadap ROW jalan. Hal ini didukung fakta semakin tingginya angka penggunaan kendaraan pribadi yang dilakukan dalam pergerakan internal wilayah kampus ITS setiap tahunnya. Menurut data statistik Subbidang Rumah Tangga, Badan Administrasi dan Keuangan Kampus (BAUK) ITS pada tahun 2010, jumlah kendaraan pribadi (sepeda motor dan mobil) yang memasuki wilayah ITS sebesar 13.306 unit yang terdiri dari mobil sebesar 856 unit, sepeda motor 12.450 unit. Sedangkan berbanding terbalik dengan penggunaan sepeda yang hanya sebesar sepeda 314 unit. Padahal jumlah seluruh civitas akademika ITS berkisar 20.000 orang yang terdiri dari 18.000 mahasiswa dan sebesar 2.000 merupakan dosen dan karyawan. Selain itu, pengguanan sepeda masih mempertimbangkan bahwa penggunaan sepeda masih terbatas pada kebutuhan sosial untuk olahraga dan rekreasi yang menjadi trend gaya hidup sehat pada saat ini (Artiningsih, 2009). Apalagi, berdasarkan kondisi faktual penyediaan jalur sepeda saat ini belum didukung fasilitas yang memadai yang memberikan insentif bagi pengguna sepeda aman dan nyaman dalam menggunakan sepeda.. 
Kawasan Kampus ITS sebagai kawasan pendidikan dapat dianggap sebagai kawasan tujuan pergerakan yang tetap. Hal ini dikarenakan karakteristik pergerakan civitas akademika ITS memiliki tujuan yang sama yaitu bersekolah atau ke kampus. Aksesbilitas dan mobilitas yang dilakukan lebih banyak dipengaruhi oleh jarak dari asal pergerakan menuju tujuan pergerakan. Selain itu, pemilihan moda asal pergerakan, yakni dosen, mahasiswa, dan karyawan dipengaruhi oleh faktor tata guna lahan, jarak, waktu dan biaya.
Tingginya ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor yang mendominasi moda pergerakan internal kampus ITS menimbulkan berbagai permasalahan kelancaran lalu lintas dan ketersediaan lahan parkir, serta berdampak pada tingginya tingkat polusi udara yang diakibatkan oleh emis gas CO2. 
Transport Demand Management (TDM) yang juga dikenal dengan sebutan “mobility management” meliputi semua metode yang dapat meningkatkan pemanfaatan fasilitas dan sarana transportasi yang telah ada secara lebih efisien dengan mengatur atau meminimalisasi pemanfaatan kendaraan bermotor dengan mempengaruhi perilaku perjalanan yang meliputi frekuensi, tujuan, moda dan waktu perjalanan (Tanariboon, 1992). Tujuan utama dari TDM ini adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan yang menggunakan sistem jaringan jalan dengan menyediakan berbagai pilihan mobilitas (kemudahan melakukan perjalanan) bagi siapa saja yang berkeinginan untuk melakukan perjalanan (Noboru Harata, 1994 dan Zupan, s.a). Dalam konsep yang lebih mikro skala kampus, penerapan TDM diimplementasikan dalam program Campus Transport Management (CTM). Program CTM berusaha meningkatkan pilihan dalam transportasi dan mengurangi banyaknya perjalanan dengan menggunakan mobil yang dilakukan oleh  mahasiswa pada lingkungan kampu. Penerapan program CTM memberikan beberapa manfaat diantaranya (1) Mampu mengurangi jumlah perjalanan menggunakan kendaraan pribadi sebesar 10-30% (2) Mengurangi kebutuhan lahan parkir dan masalah kemacetan lalulintas di sekitar lingkungan kampus (3) Memberikan keamanan dan ketenangan yang lebih baik serta mengurangi konflik dengan warga sekitar (4) Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan (OTE, 2002b).
Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui peluang pengalihan kendaaraan sepeda motor ke sepeda dalam berdasarkan preferensi civitas akademika kampus ITS dalam rangka mewujudkan gagasan  ITS eco-campus. Nantinya, penelitian ini diharapkan memberikan arahan dalam pengambilan kebijakan penataan ruang untuk mewujudkan gaya hidup berwawasan lingkungan di kampus.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------